Kamus Berjalan Kura-kura Badut

Penulis: Tantan - Waktu: Jumat, 17 Oktober 2014 - 14:44 PM
Credit by: Pelepasan Tuntung Laut (PIN)

Aceh Taminag, PINews.com - Menjadi sukarelawan penyelamat Tuntung sebagai penebus dosa kepada generasi mendatang.  “Saya tak ingin, anak cucu hanya mengetahui Tuntung dari buku  dan cerita, tanpa pernah melihat aslinya, “ ujar Abubakar Abdul Latif .  Keanekaragaman hayati menjadi masa depan Indonesia  

Abubakar Abdul Latif tak ubahnya  kamus  berjalan  Tuntung.  Laki-laki asli Aceh ini  tahu dari A sampai Z  kebiasaan hewan dari spesies kura-kura yang hampir punah tersebut . Anda tanya apa saja, dia bisa menjawabnya dengan runtut.  Kapan  musim Tuntung bertelur ? “Yang paling banyak Desember,  bulan berikutnya  sudah berkurang dan Februari hanya tinggal sisa-sisa,” ujar Abubakar, yang kini berumur 62 tahun.   Meski sudah sepuh, dia masih sigap. Tubuhnya masih liat. Dia masih kuat begadang berhari-hari berburu telur Tuntung.

Kini tak banyak spot, tempat Tuntung bertelur  di kawasan Aceh Tamiang.   Pantai Genting dan Pantai Pusong Cium , termasuk yang masih didatangi  indukan Tuntung. Tentu dengan jumlah terbatas.

Tuntung biasa naik ke pantai pada bulan terang. Abubakar berpesan, jika ingin menemukan telur  Tuntung, jangan merokok jika angin sedang  bertiup ke arah laut. Tapi kalau sebaliknya, silakan. “Tuntung tak akan jadi naik kalau mencium asap, “Abubakar menegaskan.  Setiap ekor Tuntung bertelur antara 18-24 buah di tiap lubang.

Abubakar  direkrut   sebagai salah seorang sukarelawan oleh Yayasan Satu Cita Lestari. Lembaga nirlaba ini bekerjasama dengan Rantau Field PT Pertamina EP menyelamatkan Tuntung Laut dari kepunahan.   Abubakar  menjadi penuntun jalan setiap kali perburuan telur dilakukan. Pengetahuannya yang luas tentang Tuntung sangat membantu seperti ditunjukkannya  dalam  setiap perburuan telur

Untuk menyelamatkan Tuntung, memang harus diawali dari pencarian telur. Kalau tak diamankan, telur bisa tak bersisa. Jangan harap bisa sampai menetas.  Kalau tak dikepit manusia, bisa juga dilahap habis babi yang masih berkeliaran di situ. Alhasil, induk Tuntung bisa makin tak bersisa. “Bisa juga dimakan  harimau , “ ujar Abubakar nyaris tanpa ekspresi. 

Meski tak pernah memasuki perkampungan penduduk, Abubakar yakin harimau masih bersisa di kawasan tersebut. Beberapa tahun silam  saat  telur Tuntung  masih banyak beberapa kali, dia bersirobok dengan satwa langka  tersebut. 

Sebagai sukarelawan, Abubakar tak hanya terlibat  pada pencarian telur.  Juga harus menjaga kelestarian induknya. Pernah satu ketika, dia bersitegang dengan tetangganya yang membawa  indukan Tuntung ke rumahnya untuk dipelihara. Orang itu bersikukuh tak mau melepas. Ia beranggapan Tuntung itu tak ada  yang memiliki karena  menemukan di sungai. Penjelasan Abubakar  bahwa Tuntung satwa langka yang tak boleh sembarangan dipelihara tak digubris. Abubakar pun mengadu ke Yayasan dan diperintahkan untuk melapor ke polisi.

Berbekal laporan itu, kemudian dia menghubungi istri yang bersangkutan. Dia terangkan kalau suaminya tak melepaskan Tuntung akan ditahan polisi. Usaha itu ternyata efektif. “ Tuntung dilepaskan lagi ke sungai. Saya sempat diomeli Yayasan karena belum  sempat motret Tuntung tsb,” ujar Abubakar. Bagi lembaga penyelamatan satwa langka, pendokumentasian satwa sangat berarti.

Pengetahuan  yang luas tentang Tuntung  tak didapat  begitu saja. Abubakar membaui Tuntung hampir sepenjang hidupnya. Di tempat kelahirannya di Kampung Bendahara, Tuntung  adalah teman berenang anak-anak di sungai. “ Pada 1985 sampai  1995, Telur Tungtung sangat berlimpah,” ujar Abubakar. Pada era itu Abubakar  tak ubahnya penguasa pantai. Kawan-kawan sesama  nelayan segan kepadanya yang dianggapnya sudah putus urat takut. 

Abubakar mengaku saat itu memang berangasan. Tangan dengan mudah terayun bila ada yang mengusiknya. Otot dianggapnya sebagai satu-satunya alat untuk menyelesaikan masalah. Sumbu amarahnya yang pendek  pula yang membawanya jadi orang laut.

Dia sempat bergabung dengan salah satu perusahaan migas  seusai menamatkan sekolah menengah saat perusahaan itu mulai membuka Ladang Migas Arun. Tapi , ya itu karena sebab yang sepele dia berkelahi dengan warga sekitar.  “ Saya memilih pulang,” ujarnya. Perusahaan sebenarnya tak mengeluarkannya. Tapi Abubakar merasa jika dia tetap bertahan akan membahayakan nyawanya.

Setelah kembali ke kampung halamannya, dia memilih laut sebagai ladang hidupnya. Selain ikan dan udang, di malam hari, bersama nelayan lainnya dia menyusuri pantai, memungut telur Tuntung.  “Jumlahnya berlimpah,” ujarnya. Setiap musim Tuntung bertelur, hampir semua penduduk di sekitar Pantai Genting berburu. Tak ada yang pulang dengan tangan kosong. Semua kebagian. Saat itu ada pengepul yang khusus menampung  telur Tuntung dengan harga Rp 500 per butir , jumlah yang besar untuk ukuran saat itu. 

Karena permintaan  besar, di antara pengepul pun saling bersaing. Mereka berlomba  menaikkan harga beli. “Ada pengepul yang turun langsung ke  Pantai, dan berani beli Rp 700 per butir.  “ ujar Dengan harga bagus seperti itu,  penduduk pun berlomba mencari Tuntung.  Rezeki itu berakhir sepuluh tahun kemudian. Pada 1995, karena terus diburu, populasi telur menyusut drastis. “ Karena telur mulai susah. Indukannya pun saya sikat,” ujar Abubakar. Saat itu kebetulan ada penadahnya .

Kabarnya , indukan Tuntung itu setelah terkumpul dikirim ke luar negeri. Setelah berlangsung beberapa lama kegiatan ini kepergok petugas keamanan. Kapal si Tauke disergap dan ditahan. Tuntung pun  akhirnya menghilang dari perairan Aceh Tamiang, khsususnya Genting. Anak-anak yang lahir belakangan hanya kebagian ceritanya saja tentang Tuntung yang jadi sumber rezeki   

Abubabakar pun kembali pada rutinitas sebagai nelayan  yang hanya mengandalkan pada hasil tangkapan ikan dan udang. Ini pun akhirnya ditanggalkan. Abubakar terpaksa meninggalkan laut yang dicintainya. “Keberanian  saya hilang. “ ujarnya. Nyalinya pergi saat meletup konflik antara Pemerintah RI dengan GAM. Saat di pantai dia sempat diinterogasi sampai lima hari.  Dia memang boleh pulang tiap hari  untuk menengok keluarga, tapi cuma sebentar .

“Setiap diinterogasi Saya ingat betul pistol menempel di jidat dan bayonet di pingggang, “ujarnya. Saat itu sipil biasa kerap terjepit di tengah pusaran konflik. Tentara mencurigainya sebagai antek GAM . Sebaliknya GAM pun menyangkanya sebagai kaki tangan tentara. “ Hanya karena pertolongan Allah, saya bisa selamat ,” ujar Abubakar.

Setelah konflik berakhir, pada 2008 Abubakar memutuskan selamat tinggal pada laut. Ia  pindah ke darat, bekerja serabutan untuk membiayai  istri dan embilan anaknya. Karena terbilang terlambat menikah,  anaknya yang paling kecil masih balita.

Di saat-saat senggang,  memorinya suka memutar kejadian-kejadian silam yang pernah dialaminya, termasuk  Tuntung yang diburunya sampai tandas.  “Saya ingin  betul melihat Tuntung,” ujarnya Untuk mengobati kerinduannya, dia kerap menyusuri sungai dan pantai. Toh yang dicarinya tidak ada. Sampai akhirnya pada 2012, Yayasan Satu Cita mengajaknya bergabung. Meski honornya tak seberapa, Abubakar menyambutnya dengan girang. “Hitung-hitung penebus dosa saya kepada generasi mendatang,” katanya. Ia tak ingin, anak cucunya hanya mengetahui Tuntung dari buku  dan cerita 

Yayasan Satu Cita  bukan lembaga nirlaba dengan dana berlimpah dengan . Hanya modal tekad, terus melangkahkan kaki di bidang koservasi. Pengetahuan juga masih terbatas. Semuanya dilakukan trial and error. Karena itulah, dari penetasan yang terakhir, dari sekitar 250-an   telur  Tuntung Laut hanya  sebelas  yang menetas. Padahal, telur  itu didapat dengan  lelehan kerigat. Pria berusia 33 tahun bersama koleganya di Yayasan Satu  Cita  Lestasi dan beberapa karyawan Pertamina EP Rantau Field  lebih  sepekan  di penghujung tahun 2013 , menyusuri pantai Pantai Pusong Putus, Pusong Cium dan Pantai Ujung Tamiang Aceh Timur.  Setiap hari, tidur  hanya beberapa jam di gubuk nelayan,  berdiding daun nipah dan berlantaikan bambu.  

“Kita ambil hikmahnya saja. Untuk penetasan, pemakaian inkubator tak terhindarkan,” ujar Joko Guntoro, pendiri  Yayasan Satu Cita. Dari situ Joko kian menyadari, menyelamatkan hewan langka butuh kesabaran. Dalam perjalanannya, akan ditemukan banyak onak dan duri .

Joko  tak mau menggunakan inkubator  karena berkaca dari  kesuksesan penetasan sebelumnya. Dengan  perkakas sederhana,   bisa  mencapai di atas 80%. Sejak didirikan 2011 lalu,  penetasan kali ini yang ketiga. Sebelumnya dengan telur yang jauh lebih sedikit, bisa ditetaskan 56 telur dan 77 telur yang semuanya sudah dilepasliarkan.  Joko kemudian membongkar literatur mencari sebab dari kegagalan penetasan. 

“Kemungkinan besar karena suhu yang terlalu panas,” ujarnya. Suhu yang aman untuk penetasan Tuntung di bawah 30 derajat. Di atas  itu, bisa dipastikan telur tak akan bertahan.  Padahal saat masa pegeraman , selama beberapa hari wilayah Aceh Tamiang dijalari cuaca panas yang luar biasa . “Dari  kasus itu, kita bisa simpulkan   pemanasan global turut andil memusnahkan keanekaragaman hayati, “ Joko menambahkan.

Bagi Joko, Tuntung Laut tak sekedar hewan langka yang harus diselematkan. Tapi sudah menjadi tujuan hidupnya. Demi Tuntung Laut dia rela meninggalkan pekerjaan di salah satu LSM besar di Bohorok yang mengurus penyelamatan Orang Utan.  Padahal, dia sudah beberapa tahun bekerja di situ. 

Pada 2011,  alumnus jurusan Sociatri UGM ini pulang kampung. Dengan beberapa koleganya, Dia  mendirikan Yayasan Satu Cita Lestari, dengan misi khusus menyelamatkan Tuntung Laut dari kepunahan. Dia terhenyak ketika membaca literatur yang menyebutkan red list yang dikeluarkanInternational Union for Conservationof Nature (IUCN). Tuntung Laut (batagur borneoensis) yang sebelumnya dikenal sebagai callagur borneoensis, menurut lembaga tersebuy sangat terancam punah seperti terdaftar dalam CITES appendix 2 dan zero quota untuk perdagangan komersial.

Spesies ini masuk dalam Top 25 spesies terancam punah di tingkat global.  “Tuntung Laut adalah spesies kura-kura  yang menempati urutan ke- 25 yang paling terancam punah, dari 321 spesies kura-kura di dunia,”  ujar Joko  Guntoro. Khusus di Indonesia , dari 31 spesies kura-kura, ada lima spesies terancam punah, termasuk Tuntung Laut.

Ingatannya berkelana pada masa kecil saat  berenang  berkawan  Tuntung  di sungai . Dia juga masih bisa menikmati kelezatan Tengulik yang dibuat dari Telur Tuntung.  Kini, semua “kemewahan” itu tak bisa lagi dinikmati anak-anak di Aceh Tamiang.  Terbukti, saat dilakukan survey  terhadap 1000 pelajar. 60% diantaranya menjawab tidak tahutentang tahu.  Yang tahu pun, hanya beberapa yang pernah melihat. Mereka kebanyakan mendapat cerita dari orang tua

Joko memperkirakan indukan Tuntungan  Laut hanya tinggal ratusan saja. Pada 2012, saat survey pendahuluan, hanya teridentifikasi sekitar 141 ekor. Tuntug Laut  terbilang unik jika dibandingkan dengan kura-kura pada umumnya. Telurnya tidak bulat, tapi oval seperti telur unggas. Siripnya juga berkuku. Selain itu, habitatnya juga bukan laut tapi sungai. Dia ke pantai hanya untuk bertelur. Cuma, umur Tuntung Laut lebih pendek dari rata-rata kura-kura  pada umumnya. Jika yang lain  bisa seratus tahun lebih, Tuntung Laut hanya  delapan puluh tahun. 

Banyak yang mengoleksi karena keeksotisanya. Saat-saat masa kawin, tubuhnya  berubah.  Batoknya yang tadinya hijau menjadi memutih, hidugnya merah bersemu jingga, mulutnya juga tiba-tiba meghitam.  Perubahan warna itu dikenal sebagai dimorfisme seksual  yang lazim terjadi pada reptil. Dengan  kemampuannya menyulih warna , para pengoleksinya kerap menyebut Tuntung lalut sebagai sebagai si badut. “Musim kawinnya  antara bulan empat sampai bulan delapan,” ujarnya

Joko sadar cita-cita besarnya tak bisa dilakukan sendiri,  butuh dukungan dari stakeholder lain. Saat memulai  kegiatan, seperti survey pendahuluan, begitu Yayasan didirikan,  ia saweran dengan temn-teman lainnya sebesar. Sebagai orang yang banyak bergelut di LSM lingkungan, dia tahu belaka donasi akan datang jika aksinya konsisten. 

Uluran tangan itu ternyata tak butuh lama.  Datang saat dia  bertemu   dengan Dedi Dzikrian, Staf CSR  Rantau Field. Pertemuan itu tak Bukan di tempat formal ataupun di café. “Kami ngobrol di atas jembatan,” ujar Joko. Apa yang diperjuangkan Yayasan Satu Cita Lestari klop dengan filosofis  Rantau Field yang ingin tumbuh bersama lingkungan. Salah satunya dengan mendukung penyelamatan keanekaragaman hayati.  Dengan program konservasi tersebut keanekaragaman hayati dapat terus ada di wilayah kesatuan NKRI.Denganbegitu, di kemudian hari, generasi penerus masih bisa menikmati dan mempelajari kekayaan tersebut.

Yayasan Satu Cita Lestari kemudian mengikat perjanjian kerjasama selama lima tahun  2013-2017, meliputi survey lanjutan, penyediaan fasilitas penangkaran danpembesaran, sosialisasi kemasyarakat dan anak sekolah, penyediaan makanan, obat-obatan, vitamin sampai dokte hewan.  Selama kerjasama ditagetkan minimal dilakukan pelepasliaran sejumlah 600 tukik spesies Tuntung Laut ke habitat asli.

Indonesia  selama ini dikenal sebagai  surga keanekaragaman hayati dibandingkan negara-negara lain di dunia, bahkan mengalahkan AmerikaSerikat (AS) yang wilayahnya lima kali lebih luas dibanding Indonesia.

Dalam catatan  Rhett A Buttler, pendiri Mangabay.com  , dari hasil penelitian dan data yang mereka dapatkan, keanekaragaman hayati Indonesia, mulai dari laut, udara, dan daratan cukup besar. Seperti jenis mamalia, menurutdia, terdapat 667 jenis, burung sebanyak 1.604 jenis, reptile sebanyak 749 jenis dan tumbuhan 30.000 jenis.

Jumlah tersebut jauh lebih banyak dibanding keanekaragaman hayati yang dimiliki AS, yaitu untuk mamalia sebanyak 468 jenis, burung hanya 888 jenis, reptil 360 jenis dan tumbuhan sebanyak 20.000 jenis.

Potensi yang cukup besar tersebut,  menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara yang cukup indah dan kaya dengan berbagi potensi yang bisa dikembangkan untuk mendukung kesejahteraan rakyat. Tak salah jika   Begawan Ekonomi Lingkungan  Prof DR Emil Salim menyatakan masa depan Indonesia ada pada keanekaragaman hayati.

 

Editor: RI