ICAN Raih Nobel Perdamaian, Peneliti UGM Muhadi Sugiono Diundang Hadir
Credit by: istimewa

Jakarta, PINews.com – Peneliti Unversitas Gadjah Mada (UGM) Muhadi Sugiono mendapatkan undangan untuk menghadiri penganugrahan Nobel Perdamaian 2017.

Muhadi selama ini berkiprah sebagai peneliti  di Institute International Studies UGM. Selama ini, dia berkiprah dalam mendorong ratifikasi larangan senjata nuklir.

Baru-baru ini, dia meminta  DPR dan Pemerintah Republik Indonesia tidak terlalu lama dapat meratifikasi Traktat Larangan Senjata Nuklir. "Kami berharap traktat itu tidak sekadar ditandatangani namun juga harus segera diratifikasi," kata Peneliti Institute of Internastional Studies (IIS) UGM Muhadi Sugiono di Yogyakarta, Jumat (22/9), seperti dikutip Antara.

Muhadi dan IIS UGM bergabung dalam The International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN) yang dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian 2017 atas keberhasilannya mengupayakan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Traktat ini secara langsung menyatakan bahwa senjata pemusnah massal tersebut ilegal sehingga segala kegiatan termasuk pengembangan, pengujian, produksi, dan penggunaan senjata nuklir dilarang. Perjanjian historis ini diadopsi oleh PBB pada 7 Juli 2017 dengan dukungan dari 122 negara. Muhadi, alumni Australian National University (ANU) pernah memimpin ICAN.

ICAN adalah koalisi kampanye global yang terdiri dari masyarakat sipil dan organisasi non-negara di lebih dari 100 negara. ICAN senantiasa memobilisasi masyarakat di seluruh dunia untuk dapat menginspirasi, mempersuasi, dan menekan pemerintah masing-masing agar mendukung upaya pelarangan senjata nuklir. Di Indonesia, ICAN bermitra dengan Institute of International Studies (IIS), sebuah lembaga riset yang berdiri di bawah Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. IIS UGM sebagai satu-satunya mitra resmi ICAN di Indonesia, mengemban misi untuk memastikan pemerintah Indonesia mendukung seluruh upaya perlucutan senjata nuklir.

IIS UGM secara giat memberikan edukasi melalui media sosial, kuliah umum di berbagai universitas di Indonesia, penandatanganan petisi, human poster di titik keramaian, dan kegiatan bersepeda bersama dan telah dilakukan sejak 2012. Kegiatan-kegiatan itu diupayakan oleh IIS UGM untuk mendorong ratifikasi pelarangan senjata nuklir oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu, dua peneliti IIS UGM, Muhadi Sugiono dan Yunizar Adiputera, secara aktif juga turut hadir sebagai bagian dari ICAN dalam berbagai pertemuan tingkat tinggi. Keduanya secara bergantian hadir dalam tiga Konferensi Dampak Kemanusiaan Senjata Nuklir di Oslo (2013), Nayarit (2014), dan Wina (2014); serta pertemuan Kelompok Kerja Perlucutan Senjata Nuklir PBB di Jenewa (2016). Selain memastikan dukungan pemerintah Indonesia, mereka juga diberi mandat untuk memonitor sikap yang diambil oleh pemerintah di negara-negara Asia Tenggara serta melakukan lobi-lobi informal kepada perwakilan diplomat yang hadir.

Menanggapi keraguan terhadap absennya negara pemilik senjata nuklir dalam penandatanganan traktat, Muhadi dan Yunizar menegaskan bahwa traktat ini akan mendorong perubahan norma internasional. Perlahan, status ilegal yang disematkan kepada senjata nuklir melalui traktat ini akan mengubah standar moral masyarakat internasional. Menurut Yunizar, saat sebuah negara memiliki senjata nuklir, mereka sering sekali merasa dirinya istimewa. Ia beranggapan, kemunculan traktat ini dapat menghilangkan perasaan tersebut dan membuat opini buruk.

“Traktat ini nantinya akan memunculkan opini saat negara pemilik senjata nuklir akan dicap sebagai negara yang buruk karena memiliki senjata tersebut,” terang Yunizar, Senin (9/10), seperti dikutip website UGM.

Muhadi menambahkan satu abad lalu penjajahan masih dianggap tindakan yang wajar dilakukan. Namun, seiring dengan upaya menarasikan penjajahan sebagai tindakan amoral, praktik ini tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebanggan. Muhadi menjelaskan, ketika traktat ini secara penuh berlaku maka penduduk negara-negara pemilik senjata nuklir akan malu karena tindakan negaranya dinilai ilegal dan tidak bermoral berdasarkan aturan internasional.

“Amerika Serikat kedudukannya akan sama dengan Korea Utara, sama-sama buruk karena memiliki senjata pemusnah massal yang ilegal sehingga nantinya kepemilikan senjata nuklir bukanlah suatu kebanggaan,” tambah Muhadi. 

Langkah Indonesia untuk menandatangani Traktat Pelarangan Senjata Nuklir pada seremoni di sesi Sidang Umum PBB 20 September lalu dipandang sebagai langkah yang tepat. Langkah tersebut menegaskan kembali keberpihakan moral negara kita terhadap kemanusiaan. Meski begitu, jalan Indonesia di isu perlucutan senjata nuklir masih panjang. Traktat Pelarangan Senjata Nuklir baru akan berlaku penuh dan mengikat setelah 50 negara meratifikasi ke dalam hukum domestik masing-masing.

Dukungan Indonesia terhadap dunia-bebas-senjata nuklir harus diwujudkan hingga ratifikasi traktat ke dalam Undang-Undang. Sayangnya, menurut Muhadi, RUU mengenai perlucutan senjata seringkali tidak dianggap sebagai prioritas oleh DPR. Padahal, ketika terjadi perang nuklir, dampak radiasi akan menyebabkan efek secara global, misalnya penurunan rata-rata suhu hingga menyebabkan kegagalan panen dan krisis pangan. Ini tentu saja akan berdampak pula pada Indonesia.

“Saya harap bisa dimasukkan prolegnas dan bisa langsung diratifikasi paling lambat tahun depan, bersamaan dengan upaya ratifikasi pelarangan bom curah,” tutur Muhadi.

Editor: HAR