Cenits Dorong RUU Migas Masuk UU Energi

Jakarta-PINews.com-Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas (RUU Migas) telah diajukan DPR sejak 2011. Sampai menginjak usia sekitar tujuh tahun, RUU tersebut belum juga lahir menjadi UU baru sebagai revisi UU Nomor 22 Tahun 2001. Padahal, perkembangan isu-isu yang berkaitan dengan sektor migas, baik dalam hal tata kelola maupun industri, perlu diakomodasi dalam sebuah payung hukum, terlebih setelah Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas.

Akan tetapi, sebenarnya ada kebutuhan lebih besar dan mendesak dari masalah migas, yaitu persoalan energi secara luas, salah satunya adalah energi baru dan terbarukan (EBT). Lebih dari satu dekade terakhir pemerintah juga mendorong pengembangan EBT. Hal ini terutama sekali untuk menggantikan salah satu fungsi migas sebagai bahan bakar. EBT juga digalakkan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi yang tahun ini ditargetkan mencapai 98 persen.

Karena itu, Centre for Energy  and Innovation Technology Studies (Cenits) mengusulkan agar pemerintah dan DPR justru berkonsentrasi pada masalah energi yang lebih menyeluruh. ”Cenits dalam hal ini justru lebih mendorong agar pemerintah dan DPR membuat payung besarnya,yaitu melakukan revisi UU Energi dan migas menjadi salah satu bagian di dalamnya,” kata CEO Cenits, Soni Fahruri di sela-sela Focus Group Discussion bertajuk ”Bagaimana Kabar RUU Migas?” di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (26/3) malam.

Soni menjelaskan bahwa migas belum akan tamat dalam waktu dekat.   Namun demikian, pemanfaatan migas sebagai bahan bakar lambat laun akan digantikan EBT.

Menurut alumnus ITS Surabaya ini, selama ini kita hanya mengenal minyak mentah yang diolah dalam kilang. Padahal, saat ini Crude Palm Oil (CPO) juga dapat diolah di kilang. Produknya merupakan green avtur, green diesel, dan lainnya. Dan, apabila hal ini dikembangkan, tentu akan meningkatkan bauran energi terbarukan. CPO sebagaimana kita ketahui merupakan salah satu sumber energi terbarukan.

Pengembangan EBT juga mengurangi keluarnya devisa negara sebagai dampak dari impor minyak mentah yang selama ini dilakukan. ”Masalah-masalah ini perlu diatur dalam UU yang mencakup sektor energi dalam skala luas agar energi benar-benar menjadi modal pembangunan,” ujar Soni.

Dalam FGD tersebut hadir sebagai pembicara yaitu Kepala SKK Migas Dwi Sowtjipto, Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin  Achmad Sigit Dwiwahjono, dan anggota Komite BPH Migas Saryono Hadiwidjoyo. Hadir pula anggota Komisi VII DPR, Ridwan Hisjam.

Sigit mengakui bahwa minyak dan gas memiliki peran yang luar biasa sebagai sumber energi, bahan baku, dan devisa.  Sayangnya, sektor devisa saat ini justru sudah negatif karena menjadi net importir. Maka dari itu, manfaat migas yang sekarang bisa dioptimalkan yaitu sebagai energi dan bahan baku industri. Bahkan, pemanfaatan migas sebagai bahan baku,khususnya untuk industri kimia (petrochemical) memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

Yang penting, tiga kunci pokok harus diperhatikan yaitu sustainability, availibility, dan affordibility. Selain itu, selarasnya sektor hulu dengan sektor hilir adalah faktor penting untuk menaikkan nilai tambah migas guna mendukung sektor perindustrian nasional.

Sementara itu, Dwi Soetjipto menjelaskan bahwa kendati cadangan minyak menipis, cadangan gas nasional masih sangat besar. Namun, produksi gas belum dapat dioptimalkan karena permintaan relatif masih rendah. ”Kalau industri sudah menyiapkan misalnya kendaraan angkutan berbahan bakar gas, stasiun pengisian bahan bakar gas juga bertambah sehingga serapan produksinya meningkat,” kata Dwi.

Editor: