Memahami Rezim Pemilihan dan Pemerintahan
Credit by: kemendagri/dok

JAKARTA, PINews.com - Isu yang dilontarkan Mendagri belakangan soal evaluasi Pilkada semakin bergulir. Sebenarnya tak ada argumentasi baru dalam isu tersebut. Lontaran kicauannya hanya reproduksi dari apa yang pada saat akhir pemerintahan SBY dulu pernah dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 2014, yang kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2014 dan selanjutnya diundangkan dengan UU No. 1 Tahun 2015.

Isu ini semakin "liar" dan salah kaprah dengan munculnya pernyataan Mendagri untuk menyamakan semua daerah dengan DKI Jakarta, di mana para walikota dan bupatinya tidak dipilih langsung, tapi ditunjuk oleh Gubernur.

Kunci persoalan yang memunculkan kembali isu pengembalian model pemilihan kepala daerah secara tidak langsung ini berporos pada dua hal. Pertama, pada terbukanya tafsiran terhadap istilah yang dipilih oleh Konstitusi terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah dengan frasa "dipilih secara demokratis" sebagaimana tertulis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Kedua, pada ketidaktegasan pemahaman dalam konsep tatanegara tentang pemisahan rezim pemilihan dengan rezim pemerintahan.

Untuk yang pertama, meski masih dibuka ruang adanya kebolehan untuk memilih kepala daerah secara tidak langsung sebagai bentuk demokrasi sebagaimana ditegaskan oleh MK dalam putusannya, dikaitkan dengan bentuk pemerintahan yang sudah ada saat ini yakni presidensial dan bentuk daerah yang disebut daerah otonom, maka semestinya model pemilihan langsung yang sudah berjalan harusnya dikukuhkan sebagai pilihan yang tepat secara konstitusional.

Selain itu, norma yang dituangkan MK dalam putusannya yang menegaskan bahwa Perda sebagai produk legislasi tidak dapat dibatalkan oleh Mendagri dapat ditafsirkan secara ekstensif bahwa kepala daerah dan DPRD merupakan cabang kekuasaan yang "sama" seperti Presiden dan DPR sebagai pembentuk UU karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat.

Demikian juga dengan adanya norma yang menegaskan bahwa hukum pidana hanya dapat dituangkan dalam UU dan Perda, menyiratkan adanya kesamaan kekuatan eksekutorial pada cabang kekuasaan yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai pembentuk hukum.

Terkait persoalan kedua mengenai pemisahan rezim pemilihan dan pemerintahan ini sebenarnya secara formil, UU sudah menegaskan pemisahannya sebagaimana terlihat dalam adanya dua UU yang berbeda untuk keduanya. Untuk pemilihan kada telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 berikut perubahan-perubahannya, sedangkan pemerintahan daerah diatur dalam UU terpisah, yakni UU No. 23 Tahun 2014 berikut perubahannya.

Akan tetapi, dalam praktik kedua hal ini masih dipersatukan pemahamannya. Ini yang tercermin dari sikap dan pernyataan Mendagri.

Dengan keyakinan bahwa pemilihan langsung merupakan tafsiran yang sudah tepat secara konstitusional, maka kewenangan soal pemilihan ini berada dalam kekuasaan KPU sebagai institusi yang termaktub eksistensinya dalam UUD 1945. Semua persoalan terkait pemilihan telah dilimpahkan kepada lembaga independen ini, sehingga dalam perkembangannya lembaga ini tak sekedar menjadi panitia pemilihan semata tapi plus regulator kepemiluan dan pemilihan. Dengan posisi ini, distingsi Pemilu dan Pemilihan karenanya menjadi tidak relevan lagi mengingat keduanya dilaksanakan oleh lembaga yang sama dan dengan metode yang sama pula. Dus, UU Pemilu dan Pemilihan pun mestinya dijadikan satu, tidak dipisah.

Pemerintahan di kutub yang lain merupakan ranah yang terpisah. Ini jadi wilayah tupoksi utamanya Mendagri. Yang menjadi objek di sini adalah kepala daerah yang 'telah dipilih' oleh rakyat secara langsung, bukan yang 'akan dipilih'. Mendagri dapat mengurusi para kepala daerah dalam hal kesesuaian arah pemerintahan antara pusat dengan daerah.

Meski harus juga ditekankan dan diingat bahwa Mendagri ditunjuk Presiden, tidak langsung dipilih rakyat seperti para kepala daerah dan DPRD, sehingga di sini harus diberikan batas yang jelas yang membedakan adanya mandat langsung rakyat dengan mandat tak langsung dari Presiden. Agar jangan sampai ada kesan, kekuasaan orang yang tak dipilih rakyat langsung lebih besar dan kuat sehingga menihilkan suara rakyat yang disandarkan pada orang-orang tersebut. Jangan hanya karena alasan orang pusat, maka suara rakyat langsung dikerdilkan karena hanya orang daerah. Ingat, bukankah semua suara yang dikumpulkan Presiden dan DPR di pusat berasal dari suara rakyat di daerah?

Di sini dapat terlihat perbedaan dari kedua rezim ini, di mana pemilihan berporos pada proses sedangkan pemerintahan pada produk atau hasil. Dua ranah ini harus dilaksanakan oleh dua kekuasaan yang terpisah agar demokrasi dapat ditegakkan.

KPU merupakan lembaga yang berkuasa pada wilayah pemilihan karena itu mandat langsung dari konstitusi. Sedangkan pemerintahan berada dalam tangan Presiden di mana Mendagri hanya kepanjangan tangan bahkan pembantu Presiden yang dikhususkan pada wilayah pengurusan pemerintahan daerah atau dalam negeri.

Dalam proses pemilihan, Presiden dan Wakilnya ditetapkan oleh KPU berdasarkan hasil perolehan suara. Atas penetapan KPU ini, Presiden yang terpilih punya mandat mengangkat menteri. Jadi, jelas di sini mana wilayah KPU dan Mendagri serta dasar legitimasinya masing-masing.

Dengan dasar ini, merupakan keanehan jika Mendagri secara langsung memberikan evaluasi terkait pemilihan. Meski Mendagri mewakili Presiden dalam urusan ini, semestinya secara konstitusional untuk menjaga keberlangsungan demokrasi, Pemerintah sebagai salah satu Pembentuk UU dalam materi ini, hanya dapat bertindak sebagai pengusul, tidak penentu. Mirip seperti DPD. DPR sebagai pembentuk UU lainnya dapat memberikan ruang lebih besar kepada KPU yang merupakan lembaga khusus bentukan konstitusi untuk masalah pemilihan untuk mengevaluasi, mengusulkan perubahan, dan sebagainya. Dengan demikian, tujuan dan norma konstitusi terkait pemilihan dapat terpelihara.

Jadi, khusus menyangkut masalah pemilihan sebaiknya MK yang merumuskan norma umumnya melalui putusannya seperti misalnya nanti dalam hal keserentakan pemilihan yang sedang berjalan sidangnya sekarang. KPU yang merumuskan norma turunan dan teknisnya. Sedangkan Pemerintah dan DPR hanya meramu racikan dari kedua lembaga konstitusi tersebut. Ini akan membuat sistem Pemilu lebih ajeg dan tidak gampang berubah tiap lima tahun karena vested interest politik. Ini juga menegaskan dan melaksanakan norma pemilihan yang disebutkan dalam konstitusi secara khusus. Kalau perlu ini jadi ratio dicedendi putusan MK terkait JR UU Pemilu (jika ada permohonan yang relevan).

Rakyat akan lebih merasa terlindungi suaranya dalam sistem yang ada karena dijaga oleh penjaga konstitusi dan lembaga independen yang dibentuk konstitusi.

Idealitas ini tentu meniscayakan MK dan KPU (dan Penyelenggara Pemilu lainnya) yang sangat profesional, independen, ahli, amanah, dan mumpuni. Juga Pemerintah dan DPR yang legowo untuk urusan pemilihan "dikurangi kekuasaannya" sebagai pembentuk UU.

Ini penting saya utarakan agar siklus diskusi soal demokrasi kita tidak mbulet saja di hal-hal yang sudah pernah diketok palu terhadapnya, serta agar kita bisa lebih progresif mengisi dan memperbaiki substansi demokrasi, bukan riuh berkali-kali urusan format dan bentuk semata. Wallahu a'lam.

(Andi Syafrani adalah Managing Parter di ZIA and Partners Law Firm, dan Dosen UIN Jakarta)

 

Editor: Lili Hermawan