Si Cepot Melanglang Buana Dikenal Dunia Bersama Asep Sunandar
Credit by: Si Cepot bersama Alm. Asep Sunandar (Ist)

Jakarta, PINews.com - Indonesia kembali kehilangan sosok seniman yang layak dan pantas dijadikan panutan berkat dedikasinya dan yang terpenting perannya dalam pelestarian yang total terhadap dunia seni tanah air.

Dalang legendaris Asep Sunandar Sunarya berandil besar membawa wayang golek dengan ikon Si Cepot melanglang buana bernilai khusus layaknya merek dagang (trade mark) khusus.

"Ia punya suara khas Si Cepot yang menjaditrade mark setiap panggung wayang golek. Ia membawa wayang golek keliling dunia," kata Dadan Sunandar, putra kedua Asep Sunandar Sunarya di Bandung, Senin.

Sang dalang kondang wayang golek itu telah berpulang menghadap ke Allah SWT pada Senin ini, setelah menderita serangan jantung dan sempat dirawat di RS Al Ihsan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Namun, aksi mendalangnya akan tetap abadi dalam khasanah budaya Indonesia, dan Sunda khususnya.

Asep pada tahun 1980-an melakukan terobosan dengan mendobrak pakem wayang golek dengan menciptakan kreasi yang lebih hidup, sehingga termasuk dalang paling sukses pada masanya.

Ikon Si Cepot melekat pada diri dalang kelahiran Bandung, 3 September 1955 itu. Trah pedalangan dari ayahnya Abah Sunarya cukup kuat.

Bersama saudaranya yang turun sebagai dalang, seperti Ade Kosasih Sunarya (almarhum), Iden Sunarya dan beberapa dalang pedaran Giri Harja tercatat menempati peringkat panggung paling tinggi di Jawa Barat.

Asep yang terakhir menjadi dalang kasepuhan Giri Harja itu bahkan mendapat gelar Kiai Haji (KH), setelah menjadi pendakwah dengan ikon suara khas Si Cepot.

Wayang golek bagi Asep Sunandar Sunarya, yang berputra 14 dan bercucu 11, sudah mendarah daging. Di tangan pria bersuara serak tersebut wayang golek menjadi hidup dan memberi kesan di mancanegara.

Bersama Asep Sunandar, Si Cepot dan kawan-kawan (wayang golek) manggung di Eropa, seperti di Belanda, Jerman, Perancis, Belgia dan Turki.

Selain itu Si Cepot juga beraksi di Amerika dan beberapa negara Asia, apalagi di kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Ia bahkan pernah manggung di Afrika.

Konsep panggung banyolan (malucu, dalam bahasa Sunda) Si Cepot menjadi pembawa kencenderungan (trend setter) pedalangan, dan sangat berkesan bagi penonton.

Berkat aksi dan terobosannya memainkan wayang golek, Asep Sunandar juga mendapat anugerah doktor honoris causa dari salah satu perguruan tinggi di Prancis.

Dalam sejarah pewayangan di Tanah Air, ia adalah dalang wayang golek yang paling banyak manggung di luar negeri.

Di dalam negeri, Asep terbilang dalang paling moncer dan telah manggung di seluruh provinsi, dan kian lekat di hati lantaran mengisi program di beberapa televisi nasional.

Bahkan, Asep untuk setiap hari besar di tingkat kabupaten dan provinsi Jawa Barat, maka pagelaran wayang Asep Sunandar Sunarya menjadi pilihan pertama. 

Bendera "Giri Harja III" melekat pada setiap laga panggungnya. Konsep manggungnya yang menggunakan bahasa yang mudah dicerna oleh publik membuat wayang golek bisa menembus batas wilayah.

Tak hanya aksi panggung Si Cepotnya yang memukau, Asep Sunandar juga merupakan dalang senior yang punya konsep ke masa depan.

Dari buah pikir dan kerja kerasnya, maka lahirlah ratusan dalang muda yang merupakan bagian dari proses regenerasi pedalangan wayang golek.

"Ia merupakan dalang senior yang tidak pelit mengajarkan keahlian dan kiat-kiatnya di dunia pedalangan. Ia punya komitmen yang kuat terhadap wayang golek. Salah satu cita-citanya mendirikan Pesantren Padepokan Padalangan yang sudah hampir tuntas," kata Dadan.

Padepokan Padalangan Giri Harja sudah berdiri megah di belakang rumahnya, tepatnya di Jalan Laswi, yang berada di kawasan Bandung-Majalaya, Jawa Barat. Meski belum beroperasi sempurnya, padepokan itu sudah hampir rampung. Gerban dan lahan parkirnya juga sudah tuntas dikerjakan.

Namun, sang maestro berpulang ke Maha Kuasa pada saat padepokan itu hampir rampung. Pastilah, "Asep-Asep muda" telah antre meneruskan kiprahnya.

Sumber :Antara

Editor: Rio Indrawan