Masa Transisi, Komunisme & Orde Baru Ancam Kedaulatan Ekonomi Indonesia?
Credit by: Surat suara Pilpres 2014 (Ist)

Jakarta, PINews.com - Selesainya pencoblosan Capres yang merupakan salahs atu tahapan dalam pemilihan presiden Indonesia tidak serta merta membuat bangsa Indonesia tenang dan duduk manis menunggu hasil penghitungan suara yang dilakukan KPU. Seluruh lapisan masyarakat harus mengawal proses transisi kepemimpinan Negara ini agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini diungkapkan oleh S.A Sulistyo, Kepala Biro Politik dan Sumber Daya Alam, Pemuda Bekarya Indonesia (PBI) dalam artikelnya yang diterima portalindonesianews.com

Menurutnya dalam masa kampanye Pilpres hingga pelaksanaan Pilpres lahir Isu kebangkitan rezim orde baru dan komunisme berpotensi timbulkan kericuhan ditengah kehidupan masyarakat nasional. Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang belakangan membaik terancam hancur karena terancamnya stabilitas keamanan nasional.

Kedua kubu capres saling melemparkan tudingan komunisme dan orde baru yang belakangan ini mendapat perhatian lebih dari masyarakat nasional. Komunisme dan orde baru merupakan sejarah kelam bagi masyarakat Indonesia. Tentu tidak ada masyarakat Indonesia yang kembali menginginkan hidup di dua era tersebut. Kini masyarakat nasional Indonesia pun merasa resah dengan isu kebangkitan paham komunisme dan orde baru yang dicetuskan oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa nasionalis.

Isu komunisme dan orde baru seakan menghantui masyarakat nasional yang selama sepuluh tahun belakangan hidup dalam rasa kebersamaan. Akibat dicetuskannya isu kebangkitan komunisme dan orde baru, belakangan ini masyarakat nasional pun hidup bertetangga dengan penuh curiga dan kebencian.

Masyarakat nasional pun terpecah menjadi dua bagian, masyarakat yang anti komunisme dan masyarakat yang anti orde baru. Sehingga menimbulkan ancaman stabilitas keamanan nasional, hal ini mulai dirasakan di sejumlah wilayah di Jawa Tengah yang beberapa waktu lalu terjadi kericuhan antar kedua pendukung capres. Tentu saja kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia yang sedang menata pertumbuhan ekonomi.

Indonesia sendiri, berdasarkan hasil kajian World Bank berada di urutan sepuluh sebagai negara yang memiliki pertumbuhan perekonomian terbesar di dunia, sedangkan sembilan negara yang berada di peringkat teratas yakni Amerika Serikat. Selanjutnya, diikuti oleh negara Republik Rakyat Tiongkok, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis, dan Inggris. 

Adapun peringkat pertumbuhan perekonomian ini dinilai oleh World Bank berdasarkan GDP (Produk  Domestik Bruto) dan purchasing power parity (tingkat daya beli), menujukkan jika pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan ini adalah prestasi yang mesti dijaga.

Tentu bukan hal yang mudah untuk dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perlu ada dukungan dan peran serta masyarakat nasional Indonesia untuk menjaga stabilitas keamanan nasional sebagai modal penting guna menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia.

Sebab itu sangat disayangkan apabila isu kebangkitan komunisme dan orde baru dihembuskan di tengah upaya Indonesia meraih kemajuan ekonomi. Upaya kebangkitan Indonesia, sebenarnya sudah dimulai sejak 2004 silam, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Febuari 2005 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2004 yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp. 2.303 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 1.660 triliun, dengan pertumbuhan mencapai 5,13 persen dibanding tahun 2003. (*)

Di 2004, pertumbuhan PDB terjadi di hampir semua sektor ekonomi, di mana pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi  sebesar 12,70 persen, diikuti oleh sektor bangunan sebesar 8,17 persen, dan sektor keuangan,  persewaan dan jasa perusahaan 7,72 persen. Tidak demikian di sektor pertambangan dan penggalian.

Pada 2006, Indonesia kembali mencatat prestasinya yakni dengan berhasil melunasi sejumlah hutang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) yang dipandang telah membebani fiskal dan menganggu proses pemulihan ekonomi nasional. Tentu saja ini modal awal yang sangat baik bagi Indonesia untuk bangkit meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

Dengan membayar sisa hutangnya ke IMF sebesar USD 7.8 miliar pada 12 Oktober 2006, Indonesia sudah tidak lagi memiliki kewajiban mengikuti post program monitoring (PPM). Sehingga posisi Indonesia setara dengan anggota IMF lainnya yang kondisi makro ekonominya dalam keadaan baik.

Hal ini menjadi titik awal Indonesia untuk bangkit secara ekonomi, sisi lain Indonesia juga berhasil meningkatkan cadangan devisa negara dari dari USD 36,3 miliar di 2004 meningkat hingga mencapai USD 112,8 miliar pada tahun 2012. (**).

Kedauatan SDA

Guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, Indonesia berupaya melakukan perbaikan tata kelola di setiap sektor terus dilakukan hingga 2014, termasuk sektor pertambangan. Melalui undang-undang nomer 4 tahun 2009 soal mineral dan batubara, pemerintah mengatur tentang tata kelola tambang termasuk soal kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian mineral mentah guna meningkatkan nilai tambah.  

Bukan tanpa alasan yang di buat-buat, sebenarnya pendapatan sektor pertambangan mineral mentah cukup besar. Namun, langkah Indonesia untuk melakukan kewajiban pengolahan dan pemurnian ditujukan untuk keberlanjutan kegiatan usaha pertambangan dan menjaga cadangan mineral yang terkandung di bumi pertiwi agar tidak di eksploitasi secara berlebihan.

Peraturan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri Indonesia ini mendapat tanggapan negatif bagi sejumlah negara, termasuk beberapa perusahaan tambang asing di Indonesia yang selama ini gemar menjual tanah dan air.

Pertentangan terhadap upaya Indonesia dalam menjaga kedaulatan sumber daya alam tidak hanya ditentang oleh negara-negara asing, namun juga dilakukan oleh perusahaan tambang tembaga asal Amerika yang menuntut Indonesia di pengadilan internasional karena memberlakukan kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral. Sebelumnya Indonesia juga sempat mendapatkan ancaman dari pemerintah Jepang yang menganggap Indonesia tengah melakukan nasionalisasi, walaupun akhirnya Jepang mengurungkan niatnya menggugat pemerintah Indonesia.

Saat ini dibutuhkan komitmen masyarakat nasional Indonesia untuk bersatu mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melakukan perbaikan dan pembenahan demi terciptanya kedaulatan ekonomi dan sumberdaya alam nasional.

Karena  itu, sangat disayangkan isu komunisme dan orde baru dimunculkan ditengah upaya Indonesia sedang meraih cita-citanya menjadi negara yang bermatabat dan berdaulat secara ekonomi dan sumberdaya alam. Sebab kebangkitan komunisme dan orde baru bukanlah isu isapan jempol belaka yang jika dibiarkan dapat menciptakan gejolak keamanan nasional dan justru akan membuat Indonesia gagal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan sumber daya alamnya.

Isu komunisme dan orde baru dapat memperpecah bangsa Indonesia yang berakibat pada gagalnya upaya Indonesia untuk berdaulat terhadap sumber daya alamnya. Perlu diketahui juga saat ini Indonesia sedang melakukan pembenahan dan tata kelola di sektor sumber daya alam salah satunya sektor pertambangan mineral. Saat ini, Indonesia sedang melakukan upaya renegosiasi dengan perusahaan-perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK).

Berdasarkan data yang di dapat dari Kementerian ESDM, dari 34 perusahaan tambang mineral pemegang Kontrak Karya, hanya ada 7 perusahaan yang sepakat untuk melakukan renegosiasi. Adapun isi dari renegosiasi tersebut terdiri dari pengaturan besaran luas wilayah pertambangan, kelanjutan operasi, besaran penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.

Karena itu wajib bagi kita untuk menjaga ketertiban dan keamanan nasional dengan saling menghormati perbedaan. Jangan sampai, isu bangkitnya komunisme dan orde baru dapat membuat terancamnya stabilitas keamanan nasional dimanfaatkan untuk menghancurkan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang selama sepuluh tahun belakangan ini membaik.

Editor: Rio Indrawan