Ayaman Tepas Paya Bedi Yang Siap Rebut Hati Masyarakat
Credit by: Pengrajin anyaman Tepas Paya Bedi. (PIN)

Aceh Tamiang, PINews.com - Deru mesin pemotong itu tak menggentarkannya.  Ia  malah sempat becanda dengan temannnya saaat memasukkan  seikat  pelepah sawit  untuk dipotong  sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan.  Sebelumnya,  limbah yang  biasanya dibakar itu diraut dengan mesin peraut  supaya ketebalannya sama .  “ Awalnya kami deg-degan juga pakai mesin, tapi lama-lama biasa juga,” ujar Efika Jana,  yang berusia 41 tahun.

Begitulah  ibu-ibu di Paya Bedi, Dusun Bakti, Kabupaten Aceh  Tamiang.  Di sela-sela kesibukan urusan domestik, beberapa hari dalam seminggu mereka menyempatkan membuat anyaman tepas . Biasanya kerajinan ini dipakai untuk plafond ataupun dinding rumah

Jika di tempat lain, misalnya di Jawa memakai material bambu di sana dipakai pelepah sawit. Di Aceh Tamiang meski dijadikan logo Pemerintah Kabupaten, bambu sudah hampir punah. Ibu-ibu pun kemudian beralih ke pelepah sawit yang memang berlimpah di situ. 

Tak susah menjumpai kebun sawit di Aceh Tamiang. Dalam sejarahnya, sawit  merupakan penggerak utama roda perekonomian  daerah tersebut.  Di sana lah tercatat, perkebunan sawit pertama di Indonesia yang dikembangkan pengusaha Belgia, dengan waktu  yang hampir bersamaan  dengan pengusahaan minyak di Rantau pada 1928.

Salah satu  kawasan perkebunan sawit terdapat di Paya Bedi. Pelepahnya bertebaran dimana-mana. Itulah yang coba dimanfaatkan  Efika Jana  dan kawan-kawan. Bersama dengan sepuluh ibu lainnya,  sejak Agustus 2013, Efika mulai belajar menganyam tepas, mulai dari memilah pelepah sawit ,  kemudian menyiapkan agar siap dianyam dengan  mesin peraut dan pemotong.  Tak lama belajar, mereka pun mulai menjualnya.  Dari  anyaman sederhana, kini  mereka sudah terampil membuat aneka motif,  seperti  motif wajik.  Semakin rumit sebuah motif, harga tepasnya  makin mahal.

“ Untuk ukuran 2x2 m. Kalau anyaman biasa Rp 40 ribu, yang wajik bisa sampai lima ribu rupiah,” ujarnya. Untuk satu lembar tepas dibutuhkan  enam pelepah sawit yang dibeli  Rp 15.000.  “Bahan baku pelepah sawit  di sini berlimpah. Dulu malah dibakar begitu saja,” ujar Efika

 Puluhan lembar sudah  berhasil dijual.  Semua penjualan itu dicatat sebagai penghasilan kelompok. Untuk anyaman tepas ini, para perajin menyatukan  kreativitasnya dalam kelompok   Karya Muda. “Biar  semangatnya muda terus,” ujar Efika yang dipercaya oleh teman-temannya untuk mengetuai Karya Muda.     Wanita lulusan SMA   ini punya mimpi besar, tak sekedar tepas,  kelompoknya bisa menghasilkan produk lain yang lebih simple dan mudah dibawa, seperti lampu, piring , penutup nasi, dll. “Nanti kita datangkan instrukturnya, “Efika menambahkan   

Karya Muda adalah  potret sinergi  pemberdayaan masyarakat.  Bengke kerja , misalnya berasal dari sumbangan  PNPM. Tempat   berukuran 6 x 10 M ini sekaligus berfungsi sebagai gedung serba guna  yang bisa difungsikan untuk berbagai keperluan  warga.  Sementara Dinas Tenaga Kerja Aceh Tamiang menyumbangkan mesin peraut , sedangkan Pertamina EP Field Rantau sebagai inisiator program, selain menyumbangkan mesin pencacah dan mesin potong, juga melakukan pendampingan dengan mengggandeng rumah zakat.

Kerajinan tepas dipilih untuk  dikembangakan di Paya Bedi karenal secara temurun sudah ada yang memanfaatkan pelepah sawit untuk anyaman tepas. Dibandingkan dengan bamboo, material pelepah sawit punya beberapa kelebihan , antara lain lebih liat sehingga tidak mudah patah. Kelemahannya tak tahan oleh air.  

Yang jadi concern PT Pertamina EP , di Paya Bedi yang memang dikelilingi kebun sawit, pelepah sawit selama ini dumusnahkan dengan dibakar, Tenntunya ini  akan menambah beban pencemaran karena pembakaran itu melepaskan C02 ke udara. Untuk itulah,  pengembangan kerajinan tepas  ini didesain untuk zero limbah.  Sisa hasil rautan,lidi, dan, sisa pelepah yang tak terpakai dimasukkan mesin pencacah berkali-kali kemudian difermentasi untuk  dijadikan makanan ternak.

Untuk sementara,  dipakai   ternak di kampung situ, Tapi jika produksinya banyak, bisa dijual ke luar,  Pasar tak akan kekurangan. Pernah ada permintaan dari  tetangga Kabupaten, untuk dipasok pakan secara rutin. Tak bisa penuhi karena  terlalu banyak, sekitar 3 ton per bulan. Padahal produksi pakan Karya Muda baru beberapa ratus kilogram saja.

Dalam hitung-hitungan PT Pertamina EP, dalam satu tahun bisa memproduksi sekitar 423 keping dengan penghasilan rerata anggota sebesar Rp 1.800.000. Ini dihasilkan dari sekitar 129,6 ton pelepah pisang. Selain memberikan manfaat eonomi, kerajinan tapas juga ikut berkontribusi pada pengurangan pemanasan global. Dengan  tidak dibakarnya limbah pelepah sawit, terjadi pengurangan 21, ton CO2.

Editor: RI