ODOL, Masalah Transportasi Barang di Indonesia

Penulis: Kyatmaja Lookman - Waktu: Kamis, 15 Maret 2018 - 11:28 AM
Credit by: logistikinsanprima.com

Jakarta, PINews.com - ODOL atau  Over Dimensi Overload merupakan salah satu permasalahan transportasi barang di Indonesia. Tidak dimungkiri bahwa banyak barang kita itu masih barang primer sehingga transportation cost ratio ke harga barang juga tinggi. Sebagai contoh semen Rp60 ribu per sak dengan biaya Rp250 per sak 50 kg sebesar Rp12.500 sehingga ongkos transportasi ini bisa mencapai 20% dari harga barang diangkut. Overload itu cenderung terjadi di negara2 yang masih mengutamakan bahan mentah sebagai komoditas unggulan. 

Ketika kita menambahkan value adding misal handphone Rp10 juta dengan biaya transport Rp100 ribu per unitnya, maka biaya transport itu hanya tinggal 1% saja. Oleh karena itu di negara pemroduksi bahan jadi/final produk biaya logistik cenderung lebih rendah. Demikian juga transport cost itu cukup konsisten di negara mana saja di dunia tapi ketika pendapatan per kapita tinggi maka biaya logistik juga cenderung lebih rendah. Misalnya air mineral di Indonesia Rp5.000 biaya kirimnya Rp1.000 (20%) sementara di Singapura SIn$ 2  (Rp20 ribu) biaya pengiriman kisarannya Rp2.000 (10%) sehingga komposisinya juga lebih rendah.
Karena kuranganya konektivitas transportasi intermoda dengan angkutan masal akibatnya tulang punggung pengiriman kita juga menggunakan truk 90%. Point to Point adalah metode paling tidak efisien jika kita jumlahkan secara total. Usaha di sektor ini juga sangat kompetitif karena banyaknya pemain disini. Ada 5 komponen utama truk, manpower, solar, investasi kendaraan, admin dan maintenance. Semua komponen itu naik mengikuti inflasi kecuali solar tapi anehnya harga ongkos angkut tidak akan pernah bisa naik kecuali solar naik?! Harga di tahun 2018 justru dibawah harga ketika puncaknya di 2013 jadi jika logistic cost kita naik saya jamin itu bukan karena truk. 

Akibat tuntutan usaha inilah yang membuat pengusaha truk harus memuat lebih jika tidak ya murni tidak akan survive. Daya angkut truk pun terus bertambah dari 15-25 ton, 35t on bahkan 45 ton yang sekarang untuk truk sumbu 3. Bahkan APM pun mengeluh truk yang dibuat di Indonesia terlalu kuat akibatnya ongkos produksi mahal tidak mampu bersaing di pasar ekspor. Bayangkan saja truk Tronton 3 sumbu itu beratnya bisa 11-12 ton sedang di negara lain kisarannya 9-10 ton. Di negara lain kita berlomba menurunkan beban truk agar bisa memuat banyak sesuai ketentuan di sini kita malah adu otot agar mampu memuat sebanyak-banyak  melebihi ketentuan.  

Acuan aturan truk kita pun tidak memacu pengusaha untuk lebih kreatif melainkan memacu untuk adu otot siapa yang muat paling besar dan banyak maka dia yang menang di kompetisi ini. Jika di negara lain menggunakan acuan GVW atau JBB di negara kita menggunakan acuan JBI atau kelas jalan. Aturan JBI ini ada tertera di dalam UU No 22 Tahun 2009. Acuan JBI pun sudah waktunya harus direvisi karena menggunakan acuan ban 900 (tahun 1970-1990-an) dimana sekarang semua juga sudah menggunakan ban 1000, 1100 bahkan 1200. Jika kita tidak revisi aturan ini maka daya angkut kita juga tidak akan bisa berkompetisi dengan negara lain.

Kecepatan juga menjadi kendala karena muatan berat maka kendaraan juga didesiain untuk itu. Selain sasis  yang harus lebih tebal drivetrain juga harus mengikuti, ibarat naik sepeda depan gear besar belakang kecil kita akan bisa berlari kencang tapi susah menanjak. Tapi jika kita balik depan kecil depan besar  maka kita akan mudah sekali menanjak dan mengangkut beban berat. Tapi di jalan datar dan muatan ringan truk jalannya mirip siput yang menjadi bottle neck  kemacetan.

Ini by design. Tapi desain  siapa?


Editor: HAR