Turkey: In Wanderland #1 “Dikensiz gül olmaz”:Bertahan dengan Filosofi Mawar

Penulis: Oleh : Aqiliya Izzati Kamila --Mahasiswa Universitas Sakarya, Turki (aqiliyaizzt@gmail.com - Waktu: Jumat, 22 Oktober 2021 - 13:47 PM
Credit by: Topkapi Palace, salah satu destinasi wisata yang banyak diburu wisatawan . Banyak peninggalan sejak zaman kenabian sampai Utsmaniyah. Salah satunya tongkat Nabi Muda (foto:Aqiliya IK)

TURKI-PINews.com. Mawar mengilhami  banyak satrawan, pelukis, negarawan sejak zaman baheula,   bergaung melintasi zaman. Siapa yang tak kenal dengan kutipan  Pujangga Inggris William Shakespeare (1564-1616),  dalam karya adiluhungnya, Romeo and Julliet. “Apalah arti sebuah nama? Andaikan kita memberi nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap mewangi.

Mawar adalah sumber kearifan. Dengarlah senandung liris dari penyair berdarah Libanon Khalil Gibran, (1883-1931),  “Orang-orang optimis melihat bunga mawar bukan durinya. Orang-orang pesimis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya.”

Mawar juga termasuk kosa kata favorit yang diabadikan dalam banyak peribahasa  di dunia. Di Turki, ada peribahasa “Dikensiz gül olmaz.” Tidak ada mawar yang tidak berduri. Keharuman mawar ada karena duri. Akan selalu ada onak di setiap jalan keberhasilan yang akan direngkuh.

Filosofi  mawar itu lah yang  menjadi obor penyemagat para perantau ilmu sepertiku, untuk terus  bertahan sampai ke wisuda pelepasan. Jumat kemarin tepat satu tahun aku punya rumah kedua. Rumah yang akan jadi saksi bisu perjuanganku lima tahun ke depan. Menjaga mimpi dan meraih apa yang selama ini ada di angan. Di negeri yang diimpikan para pemburu keindahan dari seantero jagat: Turki.

Di minggu awal kedatangan banyak kejutan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Untuk aku yang belum genap 18 tahun kala itu, gegar budaya jadi tantangan terberat yang harus dihadapi. Kesulitan Bahasa, mencoba terbiasa dengan makanan lokal yangterasa aneh di lidah dan pastinya cuaca.

Datang ketika masuk musim gugur ternyata bukan pilihan tepat untukku , si pengidap alergi. Kombinasi cuaca dingin dan tiupan angin nampaknya jadi senjata terkuat yang bisa robohkan aku. Mata bengkak dan berair, kulit kering, hidung mampet dan tak jarang setetes dua tetes darah ikut keluar buat aku kesulitan beraktivitas. Siap sedia obat seadanya sampai musim dingin selesai jadi satu-satunya pilihan untuk tetap bertahan.

Selain budaya dan kebiasaan berbeda yang aku bangun ketika mulai merantau  nyatanya ada hal lain yang kurasa cukup jadi pacuan untuk melanjutkan perjalanan. Yaitu, Rasa percaya yang aku tanamkan ke diriku agar jadi obor penerang di situasi mendatang.

Hidup sendiri jadi waktu terbaik untuk aku memberikan ruang pada diriku sendiri agar bisa tumbuh dan mengambil pengalaman serta pelajaran baru sebanyak yang aku bisa. Bukan artinnya kalau tetap di Indonesia, tidak bisa dapat apa yang aku punya sekarang, tapi bagiku cetakanku di masa depan pasti akan berbeda jika aku memilih tetap di Indonesia.

Hidup sendiri itu memang pilihan, karenannya aku mencoba bertanggung jawab atas apa yang aku jadikan patokan langkahku ke depan.

 

(bersambung tulisan kedua   : cara kuliah di Turki)

 

 

Editor: HTN