PWYP Indonesia : Kesepakatan Dengan Freeport Harus Dirinci
Credit by: PWYP-Indonesia.org

Jakarta-PINews.com-Hasil perundingan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI) telah memunculkan beragam tanggapan. Ada pihak yang menilainya sebagai langkah maju. Namun tidak sedikit yang menilai kesepakatan tersebut masih sangat awal.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah bahkan menilainya sebagai suatu yang semu. Dari konferensi pers yang disampaikan menurut Maryati antara Pemerintah maupun Freeport McMoran sama sama menyatakan sepakat dalam beberapa hal.

Meski demikian Maryati menilai poin kesepakatan tersebut masih perlu dirinci lebih lanjut. Hal ini penting untuk memberikan kepastian yang lebih baik bagi pengelolaan dan kedaulatan pertambangan nasional.

Menurutnya kewajiban divestasi dan pembangunan smelter bukanlah hal baru bahkan telah tercantum dalam Kontrak Karya dan persetujuan sebelum izin konsentrat diberikan Pemerintah. Kedua kewajiban tersebut sejatinya sudah terpenuhi per 2017- tahun ini.

“Yang sangat disayangkan, mengapa Pemerintah terkesan mengejar divestasi 51% di tengah kontrak yang menjelang habis per tahun 2021. Bukankah per-2021 cadangan mineral Freeport di Papua menjadi milik Indonesia semua?,”katanya retoris.

Di tempat lain menurutnya upaya divestasi di awal tahun 2016 saja sulit mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak karena perbedaan penafsiran nilai divestasi 10,64 % antara Freeport VS Pemerintah (Rp 23,6 Triliun VS Rp 8,19 Triliun).

“Logikanya, bukankah ini hampir mirip dengan meminta Indonesia membiayai pembangunan smelter melalui divestasi hingga 51%. Banyak arena critical yang masih kosong dan rawan terjadinya perselisihan ataupun deadlock yang patut diwaspadai oleh Pemerintah dan memerlukan pengawasan publik, termasuk pengawasan oleh DPR,”tegasnya.

Maryati kemudian menyebut beberapa titik kritis yakni mekanisme penentuan nilai dan pelepasan saham, serta kerangka waktunya. Potensi deadlock akan terjadi pada metode pendekatan perhitungan dan pencakupan cadangan bawah tanah dalam valuasi. Hal lain Mekanisme penerbitan IUPK, tanpa penetapan kawasan pertambangan Freeport sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sebagai prasyarat IUPK-Pemerintah rawan melanggar ketentuan Undang-Undang.

Aspek lainnya dari sisi rezim fiskal dalam skema IUPK, diperlukan kejelasan lebih detail mengenai ketentuan fiskal yang dianggap sebagai upaya stabilisasi dan menjamin penerimaan negara yang lebih besar dari skema KK saat ini. “Faktor volatilitas harga dan kecenderungan tren dan arah regulasi fiskal perlu menjadi variabel yang diperhitungkan dalam skema ini,”katanya.

Di tempat yang sama Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mendorong Pemerintah untuk segera memperjelas kesepakatan dengan Freeport, dan menentukan mekanisme compliance dan penalty jika Freeport gagal melakukan apa yang telah menjadi kesepakatan. Misalkan saja jika gagal membangun smelter tahun 2022 atau telat melakukan divestasi 51%, dan sebagainya.

Hal ini penting karena dua kesepakatan mengenai divestasi dan pembangunan smelter hingga sekarang belum terealisasi dengan baik. Terlebih jika pokok-pokok kesepakatan yang dikemukakan kemarin belum tertuang dalam hitam di atas putih yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Sementara Manajer advokasi Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho mengingatkan Pemerintah untuk tidak terlalu sering memberikan toleransi tanpa batas kepada Freeport di tengah progres komitmen yang tersendat. Misalnya pemberian izin ekspor konsentrat tanpa mensyaratkan perkembangan pembangunan smelter atau pelonggaran tarif bea keluar seperti yang diindikasikan beberapa waktu lalu. Apalagi, jika ditengarai Pemerintah justru mengambil tindakan yang justru bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia.

Di sisi lain, Publish What You Pay menyesalkan proses perundingan antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport yang mengesampingkan pertimbangan lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal dan terdampak dalam pembahasan.

“Sampai hari ini belum jelas langkah Pemerintah dalam menindaklanjuti indikasi enam pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT. Freeport Indonesia, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penerapan Kontrak Karya PT Freeport tahun 2013-2015,”kata Aryanto.

Masalah tersebut antara lain terkait penggunaan kawasan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi, penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, hutang kewajiban dana pascatambang dan penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah.

BPK menghitung potensi kerugian negara oleh Freeport senilai Rp185,563 triliun. Yang jika diperbandingkan, nilai lebih besar dari angka tawaran divestasi 10,64% saham Freeport di awal tahun 2016.

 

 

 

 

 

Editor: ES