Kalau Saja Saya Jadi Menpora......
Credit by: koni/dok

Jakarta, PINews.com - Menyedihkan memang melihat bangsa ini. Jumlah penduduknya yang sangat besar tidak kunjung jua menjadikannya sebagai bangsa yang besar.  Dalam sejumlah bidang anak-anak bangsa ini kebanyakan menjadi penonton. Mungkin kejayaannya hanya di medsos. Mereka kerap unjuk gigi dan mendominasi.

Salah satu keprihatinan itu terlihat di bidang olahraga. Jangankan untuk level olimpiade, untuk tingkatan Asia Tenggara saja bangsa besar ini kini kerap bertekuk lutut. Untung ada bulutangkis yang masih menyelamatkan mukanya. Itu pun hanya sesekali. Pernah pula lagu kebangsaan Indonesia Raya hampir berkumandang di cabang panahan saat olimpiade puluhan tahun silam. Sementara di ajang balapan, ada nama Rio Haryanto muncul sekejap di F1, dan tenggelam di tengah musim lantaran kehabisan bensin dari sponsor.

Ada apa dengan bangsa ini? Apa yang telah dilakukan yang terhormat Menteri Pemuda dan Olahraga? Memangnya bibit bangsa ini sebegitu jeleknya sehingga tiada satu pun yang bisa menjadi juara, atau negara yang subur makmur loh jinawi ini tak punya dana untuk membangun anak bangsanya sendiri? Atau jangan-jangan Pak Menteri tidak punya visi tentang pembangunan olahraga? Yang terakhir saya tidak begitu yakin karena biasanya Anda membawa sejumlah orang sebagai tim ahli. Atau tim "ahli-ahlian" saya tidak tahu.

Kalau saya jadi Menpora, saya sih akan membikin MoU dengan induk cabang olahraga (cabor). Untuk induk cabor yang diprediksi dan langganan Indonesia dapat medali, apapun itu, tak akan dipakai MoU ini. Tapi, saya akan gunakan MoU ini untuk cabang yang amat sangat sulit bagi atlet Indonesia untuk meraih medali, apa pun itu medalinya - emas, perak, perunggu tak masalah.

Saya akan teken MoU dengan induk olahraga, terutama cabang olahraga beregu, antara lain sepakbola (PSSI), PBVSI (indoor), Perbasasi, Perbasi, dan PHSI. Sampai ayam berjanggut pun, sangat kecil cabor-cabor ini mampu meraih medali di tingkat selevel Asian Games. Karena itu, saya akan bikin klausul yang ringan-ringan saja untuk Asian Games.

Begini kira-kira ya klausulnya. Pertama, cabor-cabor yang kecil kemungkinannya meraih medali, silakan anda ikut Asian Games. Dana cari saja sendiri. Cari sponsor sendiri. Bila mampu meraih medali, biaya Pelatnas akan diganti. Bila tidak meraih medali, ya itu urusan PB masing-masing. Pilih kasih? Tidak. Ini bukan ajang partisipasi. Ini Asian Games, ajang prestasi. Prestasi ditunjukkan dengan medali.

Kedua, cabor-cabor yang ditargetkan mendulang emas, kasih mereka bonus Rp500 juta untuk setiap keping emas yang diraihnya. Ini tentu saja untuk memacu adrenalin mereka agar mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun mentalnya saat bertanding. 

Ketiga, cabang olahraga yang tak ditargetkan mendapat emas, tetapi mengejutkan meraih emas, bonusnya harus kasih lebih besar. Katakannya Rp750 juta per keping emas. Wajar dong mendapatkan lebih besar wong mereka tak diunggulkan, tak diharapkan, tiba-tiba ngasih sesuatu yang mengejutkan. Lihat klausul pertama, mereka awalnya kan harus bayar sendiri apabila tidak berprestasi. Fair tokh?

Klausul terakhir, untuk cabang olahraga yang kecil kemungkinan dapat emas tetapi dapat emas, ini harus disiram lebih banyak bonus. Sediakan Rp1 miliar. Biasanya atlet-atlet cabang ini sangat langka. 

Jadi, gak mesti sama bonus untuk tiap atlet. Masa sih harga sekeping mediali emas di zaman now dari atlet bulutangkis dan atlet wushu harus sama? 

-- Dudi Rahman, editor senior PINews.

 

 

 
Editor: HAR