Tidak Ada Ganti Ganti Rugi Untuk Penambang Illegal

Jakarta,PINews.com,- Bagi para pelaku usaha di sektor hulu migas atau Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS), tidak diperkenankan untuk mengeluarkan dana, apabila ada tuntutan ganti rugi yang dilakukan penambang minyak ilegal di wilayah kerja mereka. Tindakan ganti rugi di wilayahn kerja perusahaan yang dilakukan oleh masyarakat tidak memiliki dasar hukum. Membayar ganti rugi sama artinya menghalalkan kegiatan haram.

“Namanya juga ilegal, liar. Pertamina atau KKKS lain tak boleh mengeluarkan dana untuk kegiatan ilegal. Yang diperlukan adalah sosialisasi kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak. Itu tugas semuanya, terutama pemerintah dan SKK Migas serta KKKS,” ujar Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Satya W Yudha di Jakarta.

Menurut Satya, migas adalah domain pemerintah pusat. Karena itu, segala aktivitasnya, termasuk pengeboran, dilakukan oleh otoritas yang ditunjuk pemerintah pusat, yaitu KKKS. Apabila masyarakat kemudian mengebor, apalagi menyerobot sumur minyak  yang ada di wilayah kerja KKKS tanpa persetujuan pemerintah pusat, aktivitas tersebut adalah ilegal.

“Itu yang harus ditindak dan disosialisasikan sehingga masyarakat paham apa yang mereka lakukan. Kalaupun ada dana CSR (corporate social responsibility) yang dikeluarkan KKKS, itu bukan berarti pengganti dari kegiatan illegal drilling,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada 21 November 2017, Polres Musi Banyuasin dibantu oleh SKK Migas, Pertamina EP Asset 1 Field Ramba (unit operasional PT Pertamina EP), Satpol PP Muba,  Kodim Muba, dan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menutup 20 sumur minyak  milik negara di Mangunjaya, Kecamatan Babattoman, salah satu wilayah kerja Pertamina EP Asset 1  Field Ramba. Namun, penutupan sumur tersebut mendapat tentangan oknum penambang liar yang tak mau sumurnya ditutup dan stagger (alat bantu untuk mengebor sumur) dirobohkan. Bahkan, sehari setelah penutupan, dua sumur dirusak/dibuka kembali oleh penambang liar. Mereka bahkan menuntut ganti rugi atas modal yang dikeluarkan untuk menambang sumur di wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba, selain meminta legalisasi atas kegiatan penambangan.

Satya mengakui, kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak ilegal pasti dibekingi oleh pihak tertentu, baik perusahaan maupun individu,  yang memiliki dana. Masyarakat hanya dijadikan pekerja sedangkan keuntungan besar diperoleh penyandang dana.  “Tidak ada ceritnya masyarakat kecil yang gunakan alat complicated, pasti ada oknum,”  katanya.

Imam Prihandono, pakar hukum migas dari Universitas Airlangga, Surabaya, menjelaskan kegiatan penambangan minyak secara liar sangat  berbahaya. Kerusakan lingkungan dan dampak sosial kemasyarakatan akibat penambangan liar menjadi tanggungjawab pemerintah. “Ini terjadi di banyak kasus penambangan ilegal di Indonesia. Pemerintah membiarkan penambangan liar karena mendapatkan keuntungan tertentu (korupsi),” katanya.

Menurut Imam, sumur minyak yang berada di wilayah kerja KKKS merupakan objek vital nasional sehingga diperlukan penjagaan yang lebih ketat. Namun, aparat kepolisian dan petugas keamanan perlu juga memiliki standar prosedur operasi  yang jelas. “Ini terkait dengan kapan mengambil tindakan keras dan penggunaansenjata agar tidak terjadi pelanggaran,” katanya.

Hakim Nasution, pengamat dan praktisi hukum migas, menambahkan pemerintah harus konsisten dalam menerapkan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Salah satu klausul dalam UU Migas adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah (SKK Migas).

“KKKS yang mengalami persoalan dengan penyerobotan sumur oleh penambang liar terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya dengan pihak aparat,” ujarnya.

Hakim juga sepakat dengan pernyataan Satya Yudha yang meminta Pertamina tidak perlu memenuhi tuntutan penambang liar yang meminta kompensasi. “Jika tuntutan dipenuhi akan menciptakan preseden buruk dan akan memberikan pesan yang salah kepada para pelanggar lainnya,” kata dia.

Risna Resnawaty, pakar CSR, menilai sosialisasi bahaya pengeboran minyak secara liar harus paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. Persoalan ini harus menjadi tanggung jawab bersama. Setiap pemangku kepentingan terkait harus ambilbagian dalam pelaksanan tanggungjawab terhadap masyarakat.

“Pemerintah dalam hal ini harus mengambil inisiatif terbesar. Mengapa pemerintah, sebab penanggungjawab pelaksanaan pembangunan adalah pemerintah. Sementara perusahaan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya,” ujar Risna yang juga Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.

Menurut Risna, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menstabilkan kondisi masyarakat dengan melakukan perencanaan pengembangan terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan pengeboran minyak ilegal. Langkah kedua, implemntasi dengan melibatkan perusahaan. “Intinya, desain pembangunan dan inisiatif harus dibuat oleh  pemerintah,” katanya. 

Editor: