Balada ODOL dan Ketidakberdayaan Pengusaha Transportasi Logistik
Credit by: mobil123.com

Jakarta, PINews.com  - Sejak 1 Agustus 2018 pemerintah katanya mulai akan konsisten terhadap pelanggaran overload overdimensi (ODOL). Sebenarnya tidak heran jika teman-teman dari kalangan pengusaha truk itu apatis dengan pelaksanaan ODOL karena sejak dulu penanganan soal ini – maaf – hangat-hangat tahi ayam. Malahan, banyak  pengusaha transportasi malah kehilangan konsumen dan ditertawakan oleh para  pemilik barang. "Jangan-jangan seperti dulu lagi Pak," kata konsumen.

Jika kita telusuri keadaan seperti ini tidak tiba-tiba terjadi. Pada 1990-1998 -an hampir semua truk yang beroperasi untuk mengangkut barang itu sesuai standard pabrikan, baik secara muatan ataupun secara dimensi. Kemudian mulai dibukalah keran mobil impor bekas eks Jepang. Pengusaha pun terkaget kaget waktu itu:  ada truk yang sedemikian besar dari negeri Sakura yang ukuruan panjangnya mencapai hingga 12 meter. Ditambah saat itu sedang terjadi krisis moneter (krismon) sehingga keberadaan “truk -truk jumbo” ini sangat membantu dunia usaha dan industri dalam mengurangi beban biaya logistiknya.

Kemudian dengan semakin majunya perkembangan teknologi kendaraan,  kendaraan juga mampu mengangkut beban yang sangat berat. Saya masih ingat pada krismon berikutnya sekitar tahun 2008, tekanan untuk menjumbokan truk dan memuat barang lebih banyak semakin tinggi. Kemudian pada  2012-2014 ketika truk booming ditambah penegakkan hukum tidak konsisten maka pengusaha mulai mencari akal untuk menambah efisiensi. Maka, lahirlah truk-truk yang super kuat dengan dimensi yang luar biasa besar dan tidak sedikit yang bahkan menyalahi dimensi yang tertera di Perpres.

Kemenhub pada waktu itu sangat terlambat dalam mengantisipasi kemajuan teknologi dan pengawasan di lapangan juga sangat minimal. Ditambah rezim Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diawasi oleh Dishub di daerah, maka semakin liarlah eksploitasi muatan di luar sana. Truk yang dulunya 11 ton kemudian memuat 15 ton, 18 ton, 20 ton, 25 ton, 35 ton bahkan mencapai 40 ton untuk truk sumbu 3. Tetapi, ini menjadi satu-satunya solusi pemilik barang untuk mengurangi biaya cost-nya. Logistik itu merupakan faktor  cost jadi setiap saat harus dicarikan solusi untuk menurunkan. Masalahnya, di Indonesia solusi menurunkan cost di transportasi itu hanya berarti: muat lebih berat dan banyak. Tidak ada solusi lainnya.

Dengan semakin maraknya praktek ODOL, kita semua sudah terbiasa dengan paradigma baru ini. Ketika kita mau mengembalikan ke asal maka resistensinya akan sangat luar biasa. Mulai dari issue kenaikan harga, inflasi, dan sebagainya yang semuanya itu kebanyakan faktor ekonomi. Tapi belum pernah kita pikirkan dampak sosial dan lingkungannya. Memang faktor ekonomi itu penting tapi jangan lupa faktor lainnya.

Pemerintah sebagai regulator tidak bisa hanya fokus pada penindakan saja tapi tidak memikirkan relaksasi ke industrinya. Untuk saat ini semua sudah terlanjur terbiasa dengan muatan lebih itu. Kerusakan jalan sudah pasti sangat masif jika perkembangan beban muatan dibiarkan terus naik karena kapasitas jalan kita maksimal hanya mampu menahan 10 ton. Biaya pernaikan jalan yang diperkirakan mencapai Rp43 triliun bisa membuat beberapa ruas tol tiap tahunnya. Kita bisa saja berdalih kalau konstruksinya jelek, anggaran disunat dan seterusnya, tapi faktor kelebihan beban itu juga tidak bisa didiskreditkan begitu saja.

Belum juga masalah safety dan sosial. Acuan pabrikan itu GVW artinya kendaraan itu hanya mampu dan bisa dipertanggung jawabkan ketika muatan beserta kendaraanya itu segitu beratnya dan masalah dimensi juga harus sesuai dengan SKRB dari pabrikan. Artinya, di luar itu kita sudah sangat tidak bertanggung jawab karena komponen kendaraan sudah tidak sesuai dengan design dan peruntukannya.

Daya saing industri juga harus diperhatikan. Jika ada kendaraan yang bisa dengan aman dan sesuai peruntukan dan tidak merusak jalan ada di negara lain kita juga harus segera mengadopsi. Jika kita hanya mampu mengangkut sedikit maka Industri kita juga tidak akan berdaya saing. Aturan kia tentang ini juga sangat rigid dan uzur (ketinggalan zaman).

Saya sering mengatakan jumlah pengusaha truk itu luar biasa banyaknya (sekitar 6 juta truk) sehingga cenderung posisi tawar pengusaha sangat rendah dimata pemilik barang. Pembiaran pembiaran ini lah yang membuat habitan dan ekosistem bisnis transportasi truk rusak.  Jika kita mau mulai menyelsaikan ODOL benahi ekosistimnya. Ekosositim yang bagus itu harus dimulai dari regulasinya.

Kita harus sepakat ekosistim apa yang mau kita ciptakan contoh  safety, kompetisi, daya saing, kompetitif, complience, profesional, dan lain-lain. Tanpa perbaikan ekosistim transportasi barang jangan harap kita bisa melangkah lebih baik.  Selamanya akan terjadi: yang bisa muat dan berat dan over dimensi dialah yang menang.

Perbaikan habitat ini harus dilakukan secara komperhensif tidak hanya kebijakan dari Kementrian Perhubungan tapi juga dari kementrian Lainnya termasuk kebijakan  fiskal, emisi, tata niaga, dan sebainya. Sedemikian ODOL-nya kita tapi kenapa biaya logistik kita tetap tinggi? Berarti ada yang salah! (Kyatmaja Lookman/Pengusaha Transportasi Logistik)

Editor: HAR