Bappenas Bertugas Harmonisasi Anggaran dan Program Pembangunan Papua
Credit by: kementerian pupr

Jakarta, PINews.com - Proses pembangunan yang  sudah berjalan di Papua dinilai belum dapat menyentuh akar masalah yang ada dan sangat dibutuhkan masyarakat.  Menyelaraskan pembangunan nasional dengan Papua secara esensial mengandung dua tantangan substansial yakni menurunkan kerangka kerja nasional ke daerah yang disesuaikan dengan karakteristik lokal berazas budaya dan format pemerintahan sesuai UU Otonomi Khusus (Otsus), serta perencanaan dan penganggaran harus berbasis pada suara dan pandangan Orang Asli Papua (OAP) sesuai akar masalah yang ada.

"Kita yakini bahwa buah pikiran untuk membangun Tanah Papua harus datang dari sebuah proses deliberasi yang intens dan penyesuaian ide-ide maupun tujuan serta program-program yang diturunkan ke daerah harus dapat diimplementasikan secara baik. Rumusan dan formula pembangunan tidak hanyalah sebuah karya yang datang dari hasil kerja konsultan yang menggagas sesuatu dengan instan," kata Freddy Numberi, Tokoh Papua dan Mantan Menteri Perhubungan, dalam acara Sttategic Policy Discussion bertajuk Menggagas Kebijakan Nasional Untuk Papua (Proyeksi RPJMN Tahun 2020-2024), di Hotel Bidakara Jakarta, Senin (10/12).

Dia  mengatakan di tengah keberlimpahan sumber daya alam tanah Papua serta kucuran dana Otsus yang begitu signifikan,  OAP ternyata hingga kini masih terbelenggu kemiskinan, pendidikan yang tidak memadai (kebodohan), kesehatan yang buruk, ketidakadilan, ketertinggalan, keterisolasian, dan masih saja diterpa kekerasan.  "Akar masalah ini bagaikan ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau. Papua menjadi paradoks yang diketahui umum, miskin dalam kelimpahan," kata Freddy.

Papua, sambung dia, memiliki dimensi yang berbeda dari permasalahan pembangunan di wilayah lain Indonesia. Isu-isu strategik pembangunan Papua dari masa ke masa telah lama menjadi perhatian publik, baik pemerintah maupun masyarakat.  Pemerintah pada masa lalu menjabarkan isu-isu strategik tersebut sebagai bentuk agenda pembangunan dalam berbagai kebijakan, strategi maupun program-program pembangunan tahunannya. Isu-isu strategik tersebut, antara lain sumber daya manusia, pemberdayaan ekonomi daerah, infrastruktur maupun Pemerintahan di daerah (Provinsi,  Kabupaten dan Kota).

“Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 50-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak kepada masyarakat adat Papua.  Kita perlu mengkaji konsepsi pembangunan yang harus dikembangkan di tengah tingginya intensitas perubahan dewasa ini, memasuki era otonomi khusus di abad informasi," ujar Freddy.

Dia menambahkan saat ini cenderung dalam kondisi dilematis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan kemandiriannya harus dihadapkan dengan kemajuan global, sementara di sisi lain masyarakat Papua saat ini umumnya masih dalam kondisi tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing dalam semua aspek kehidupan.

Freddy mengaskan bahwa diperlukan juga aspek-aspek lain yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap-sikap sosial-budaya dalam masyarakat adat di Papua. Gambaran tentang konsepsi pembangunan yang ada di Papua dalam beberapa kurun waktu harus menjadi landasan utama untuk mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam mendesain pembangunan dimasa mendatang.

Untuk Papua, kata dia, dalam pelaksanaannya diarahkan pada upaya peningkatan kapasitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab menuju ke otonomi khusus. Dengan demikian, desain model pembangunan bersifat makrosektoral (bertumpu pada sektor potensial) dan mikro-spasial (bertumpu pada aspek manusia) sesuai kondisi daerah di Papua, mengkombinasikan paradigma dan teori pembangunan dari berbagai latar dan aliran. Sesuai hal-hal di atas, maka rancangan pembangunan di Papua dimasa mendatang, perlu diantisipasi melalui suatu evaluasi kritis untuk menemukan solusi yang tepat. Perlu adanya pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu pembangunan strategik dan analisis terhadap aspek-aspek yang ada baik dimasa lalu hingga dewasa ini.

Selanjutnya, Paradigma Pembangunan di Era Otonomi Khusus sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001 harus menjadi acuan utama paradigma baru, bagi kelanjutan proses pembangunan di Papua.  "Kekhususan dimaksud dicirikan oleh karakteristik lokal yang berazas budaya dan format pemerintahan sesuai Otsus," kata Freddy.

Orientasi pembangunan pada era otonomi khusus ini, pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari desain pembangunan pada era sebelumnya yang telah dikerangkakan dalam perspektif otonomi khusus dan kemandirian lokal. Dengan semakin menguatnya kesadaran akan ketertinggalan di berbagai aspek pembangunan, maka kebijakan, strategi, dan program pembangunan antar sektor harus serasi dan sinergi serta semakin diintensifkan.

Pembiayaan dalam rangka pembangunan di Tanah Papua disamping dana Otsus, masih ada dana lainnya, yaitu DBH, DAU, DAK, DTI maupun Pajak. Pemanfaatan dana Otsus yang diambil 2% dari totai DAU Nasional lebih difokuskan untuk meningkatkan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan, DTI diprioritaskan untuk membuka keterisolasian wilayah. Dengan demikian akumulasi dana bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menjadi sangat signifikan dalam jumlah, namun masyarakat belum menikmati hasilnya. Agar implementasi penggunaan dana Otsus tepat sasaran dibutuhkan Pengawasan, Pendampingan dan Pembinaan oleh Pemerintah Pusat secara berlanjut, sehingga tidak disalahgunakan.

Dari data Kementerian Keuangan tahun 2018 total dana Otsus dan DTI sejak 2002-2018 bagi Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) berjumlah Rp 106 triliun. Khusus penerimaan pembiayaan dalam rangka Otsus akan berakhir pada tahun 2022. Dengan demikian Pemerintah perlu mempertimbangkan dan menyiapkan solusi pengganti manakala dana Otsus berakhir dan diharapkan dapat dimasukkan dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional 2020-2024.

Freddy menghimbau, Kementerian PPN/ Bappenas dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai perencana pembangunan yang mengawal program Presiden.  Kementerian maupun lembaga harus betul-betul merencanakan proyek prioritas dengan pendekatan budaya sesuai ketujuh Wilayah Adat yang ada dan mengacu kepada akar masalah di Papua. "Harmonisasi perencanaan dan penganggaran harus dapat dikendalikan oleh Kementerian PPN/Bappenas sebagai integrator perencanaan pembangunan," kata Freddy.

Sementara itu, Oktorialdi, Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Pemerataan dan Kewilayahan, selaku Ketua Tim Pelaksana Desk Papua, penyusunan RPJM sangat penting karena Bappenas melihat adanya wilayah Papua yang sangat spesifik.  “Sekarang tantangan kita adalah bagaimana membangun manusianya. Di Papua itu akan berbeda, mana yang sudah di kota, mana yang masih berburu, ini akan berbeda pendekatannya,” tuturnya.

Masalah yang tidak kalah penting, tambah Oktorialdi, adalah konflik lahan, klaim and reklaim tanah. “Ini menjadi sangat mengganggu sekali.  Saya kemarin baru pulang dari Papua, jalan dari Jayapura-Wamena sudah tembus. Kegiatan ekonomi sudah banyak, jalan belum selesai tapi mobil-mobil sudah banyak. Tapi persentase pelakunya dari orang Papua itu kecil sekali. Supir-supir boleh dikatakan jarang sekali dari orang Papua,” katanya.

Dia menjelaskan pertumbuhan ekonomi wilayah Papua pada 2020 diperkirakan mencapai 6% dan melesat menjadi 7,6%  pada 2024. Alokasi dana transfer APBN ke wilayah Papua sejak otsum meningkat signifikan mencapai Rp44,8 triliun (Papua) dan Rp15.4 triliun (Papua Barat).  Sementara total anggaran Kementerian/Lembaga pada 2016 tercatat sebesar Rp15,9 triliun yang terbagi untuk Papua Rp10,44 triliun dan Papua Barat Rp5,46 triliun.  “Masalah pembangunan Papua bukan masalah uang,” katanya.

 

Editor: HAR