Wae Sano, Barometer Flores Geothermal Island

JAKARTA-PINews.com- Flores, salah satu pulau di Propinsi NTT yang punya potensi panas bumi yang menjanjikan.  Data Kementerian ESDM menyebutkan Pulau Flores menyimpan sumber daya sebesar hamper 1.000 MW dan cadangan sebesar 402,5 MW panas bumi. Ini yang mendorong Pemerintah yang telah menetapkan Flores Geothermal Island pada tahun 2017. Penetapan ini dikukuhkan melalui SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017.

Penetapan ini bertujuan pemerataan pembangunan dalam rangka Kemandirian dan Ketahanan energi. “Kedepan kebutuhan listrik di Pulau Flores akan meningkat baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan lain seperti pariwisata dan industri,”tandas Direktur Panas Bumi, Ditjen EBTKE Haris Yahya dalam Webinar bertajuk “Flores Geothermal Island, Peluang dan Tantangan Pengembangan Panas Bumi Di Flores,” Jakarta (22/09).

Haris menjelaskan pengembangan potensi panas bumi ini akan membantu meningkatkan ratio elektrifikasi yang saat ini masih rendah.  Kelistrikan Flores interkoneksi memiliki daya mampu 96,5 MW dengan beban puncak 71 MW dan cadangan daya 25,3 MW.

Saat ini wilayah Kerja Panas Bumi yang sudah beroperasi dengan kapasitas 4 x 2,5 MW dan saat ini baru beroperasi 7,5 MW karena kekurangan uap.  Kemudian PLTP Mataloko 1x2,5 MW pembangkit tidak beroperasi karena tidak ada pasokan uap.  Sementara yang sudah selesai pembangunannya oleh KS Orka/IPP adalah PLTP Sokoria dengan kapasitas 5 MW.  Apabila harga jual listrik tidak berubah dapat disepakati maka pengembang KS Orka akan melanjutkan hingga mencapai 20-30 MW.

Lalu dalam tahapan eksplorasi yakni Nage dengan kapasitas potensi sekitar 30 MWe.  Saat ini pemerintah melalui Badan Geologi sedang melakukan proses pengeboran  dana APBN di tahun 2021.  Sedangkan program PMK 62/2017 yang didukung pendanaannya oleh World Bank, rencana PLTP Wae Sano sedang dilakukan program Goverment Drilling namun masih bermasalah dengan penolakan masyarakat.

Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Riki F Ibrahim menegaskan Indonesia perlu bersyukur karena diberkahi dengan potensi panas bumi yang luar biasa.  Dengan potensi yang demikian besar itu, menurut Riki Indonesia bisa menjadi center of excellent dari Geothermal yang energi bersih tersebut.

Saat ini PT Geo Dipa Energi (Persero) mengelola tiga Wilayah Kerja Panas Bumi yakni PLTP Patuha, Jawa Barat, PLTP Dieng, Jawa Tengah dan PLTP Candradimuka yang lokasinya di dataran tinggi Dieng, Banjanegara, Jawa Tengah.

BUMN yang saham terbesarnya dimiliki Menteri Keuangan ini masuk dalam Special Mission Vehicle bersama PT SMI (Persero) yang ditugaskan Pemerintah untuk mendukung kegiatan eksplorasi panas bumi di seluruh Indonesia.  Kegiatan ini dilakukan lewat program Government Drilling/PISP, GEUDP dan GREM yang pendanaannya didukung oleh Bank Dunia yang merupakan sebagai insentif pemerintah dalam pengembangan panas bumi.

PT Geo Dipa Energi (Persero) dan PT SMI (Persero) mendapat penugasan melakukan eksplorasi di beberapa lokasi yakni WKP Wae Sano, Manggarai Barat (Flores), WKP Jailolo (Maluku) dan WKP Nage (Ngada, Flores) dan WKP Bittuang (Sulawesi Utara).  “Setelah pekerjaan pilot ini selesai, tentu diharapkan secara paralel akan dilakukan eksplorasi seluruh Indonesia dengan dukungan Bank Dunia.  Disinilah komitmen pemerintah Jokowi dalam menuju Visi Indonesia di tahun 2045 dan secara bersamaan mencapai Indonesia Center of Excellent, ”terang Riki.

Proyek Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat merupakan program pioneer.  Sehingga bakal menjadi barometer menjuju Flores Geothermal Island.  “Kita ingin kembangkan Wae Sano sebagai Kota Pariwisata, yang pasti bersih lingkungan, ”terang Riki.

Potensi Wae Sano sekitar 44 MW diharapkan dalam eksplorasi dapat membuktikan potensi ini dapat dikembangkan.  Mudah-mudahan baik WKP Wae Sano maupun WKP Nage seperti di Sokoria yang bisa dikembangkan.

Ia mengakui bahwa ada milestone yang patut dicatat di tahun 2020 yang diakui kurangnya sosialisasi. “sehingga ke depan perlu ada sosialisasi yang lebih baik lagi bersama pemerintah daerah.  Dalam perjalanan sampai saat ini proyek tersebut sudah mulai mendapat dukungan Masyarakat secara bertahap.   Diharapkan ke depan dalam waktu yang tidak lama lagi Wae Sano sudah bisa dilakukan pengeboran. Setelah potensinya dibuktikan tentu DjEBTKE akan mengundang investor untuk selanjutnya ke tahap berikutnya yaitu pembangunan PLTP, ”tandas Riki.

Riki mengatakan penolakan yang ada selama ini terjadi karena beragam isu.  “Hal ini memang sangat valid dan tidak bisa dihilangkan begitu saja karena pihak World Bank telah mengeluarkan uang banyak.  Apabila masyarakat tidak tahu maka sebaiknya diberitau manfaat dan tantangan Geothermal agar selanjutnya kita bersama memberi informasi dengan baik.  Sosialisasi tahap pertama sudah selesai dengan pemangku kepentingan. Sedangkan tahap kedua yaitu bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan pengeboran sesuai pedoman World Bank.  Menjelaskan tentang manfaat langsung dari Geothermal, “kami juga akan melakukan monitoring untuk memastikan apa yang kami lakukan itu sudah sesuai dengan harapan masyarkat, ”ungkap Riki.

Sementara Ignatius R.Djou, tokoh masyarakat Flores menegaskan bahwa sangat penting melakukan sosialiasi secara komprehensif kepada masyarakat khusus di sekitar wilayah kerja panas bumi.  “Sebaiknya pelibatan masyarakat dilakukan jauh sebelum proyek itu dimulai.  Berbagai komponen masyarakat sebaikanya dilibatkan, dan tidak hanya petinggi-petinggi saja.  Perlu gerakan massif untuk mensosialisasikan pada masyarakat karena pengembangan Geothermal itu adalah proses ekstrasi uap panas melalui sumur yang di bor ke jantung Geothermal.  Tentu akan adanya perbedaan antara tambang dan panas bumi,”terang Ignatius. 

Kepala Dinas ESDM, Propinsi NTT Jusuf Adoe yang mewakili Wakili Gubernur NTT mengatakan penetapan Flores Geothermal Island sebagai bagian dari upaya mengembangkan potensi panas bumi di Pulau Flores.  “Kami selaku Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten sangat mendukung pengembangan energi bersih yang ada di daerah kami ini, ”tandas Yusuf.

Ia mengakui bahwa masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan termasuk terkait dengan penolakan masyarakat.  “Kita harus bisa menjelaskan secara teknis baik lingkungan, sosial maupun governance bagaimana pengembangan panas bumi itu dipahami dengan seutuhnya.   Sosialisa masyarakat tidak menerima informasi yang setengah-setengah sehingga menimbulkan pro dan kontrak ditengah masyarakat,”pungkas Yusuf.

Editor: