Kepadatan Pendakian Terparah Selama 14 Tahun Terjadi di Gunung Rinjani
Credit by: Kondisi pos Plawangan Sembalun pada minggu lalu (Wahyu/portalindonesianews.com)

Sembalun –PINews.com - Jika biasanya pendakian Gunung Rinjani didominasi para wisatawan mancanegara, maka pada minggu lalu pendakian gunung yang menempati urutan ketiga tertinggi di Indonesia ini juga disesaki oleh para pendaki dari dalam negeri. pendakian gunung yang terletak di wilayah Nusa Tenggara Barat mengalami kepadatan yang sangat parah pada minggu lalu, tidak kurang dari ribuan pendaki mencoba menaklukan gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl itu.

Diperkirakan kepadatan ini disebabkan bertepatan dengan banyaknya hari libur nasional yang terjadi beberapa hari pada minggu lalu. Kepadatan yang terjadi bahkan menyebabkan kemacetan di jalur pendakian yang tentu saja berbahaya bagi keselamatan para pendaki.

Dari pemantauan tim portalindonesianews.com, ribuan pendaki kebanyakan datang dari pulau jawa dan didominasi oleh masyarakat yang berasal dari wilayah Jabodetabek. Menurut salah seorang porter yang biasa mengantarkan tamu mencanegara di gunung Rinjani, kepadatan yang terjadi baru pertama kali dirasakannyas selama 14 tahun bertugas menjadi porter.

 “Selama 14 tahun menjadi porter baru kali ini sepadat dan seramai ini, bahkan perayaan HUT RI pada 17 Agustus yang biasanya ramai saja tidak sampai seperti sekarang ini, kita sampai harus mengantri bergantian untuk naik ataupun turun gunung,” kata salah seorang porter saat dijumpai dijalur pendakian gunung Rinjani di jalur Sembalun (27/5).

Dari informasi yang dihimpun, pihak Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) bahkan sempat menutup pendaftaran pendakian selama satu hari guna mengendalikan jumlah pendaki yang terus berdatangan. Hal ini dilakukan untuk memastikan para pendaki yang sudah melakukan perjalanan mendapatkan lahan untuk berkemah.

Kepadatan sudah dirasakan sejak berada di pos pendaftaran pendakian di desa Sembalun, bahkan porter yang biasanya ramai menawarkan diri, pada minggu lalu justru dicari-cari para pendaki, tidak jarang ada rombongan pendaki yang saling berselisih untuk memperebutkan para porter.

Memasuki jalur pendakian, para pendaki harus rela bersabar karena arus kepadatan yang sangat parah membuat mereka harus memperlambat laju perjalanan. Di pos-pos pendakian semua dipadati dan sangat sulit mencari lahan untuk mendirikan tenda. Seperti di pos pelawangan Sembalaun yang menjadi titik terakhir sebelum melakukan pendakian ke puncak Rinjani.

Para pendaki harus rela berdempetan dengan tenda rombongan lain dengan jarak dari tenda satu ke tenda lain hanya sekitar setengah meter saja. Belum lagi tingkah oknum porter yang kebanyakan membawa tamu mancanegara, dengan seenakya oknum porter mendirikan tenda ditengah jalur untuk berjalan,  tentu hal ini sangat berbahaya bagi pendaki yang ingin lewat. Selain itu juga terlihat sangat semrawut.

Tidak hanya itu, kondisi lebih memperihatinkan jika kita sudah memasuki jalur menuju puncak Rinjani, antrian begitu parah dirasakan. Para turis mancanegara mengikuti pemandu mereka dengan seenaknya menyalip pendaki lain yang memang berjalan perlahan karena beratnya medan, akan tetapi salip menyalip ini tidak disertai dengan komunikasi yang jelas. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan. Belum usai kesemrawutan di jalur, di puncak juga kondisinya tidak berbeda jauh dimana ratusan orang memenuhi puncak Rinjani yang hanya seluas beberapa meter. Kondisi ini membuat para pendaki lebih memilih tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak.

“Melihat kondisi dipuncak, saya lebih memilih disini, menikmati keindahan danau segara anakan dipunggungan yang tidak seramai di puncak,” kata salah satu pendaki asal California, Amerika Serikat.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian baik dari petugas TNGR atau seluruh pihak yang berwenang dalam pengelolaan gunung Rinjani. Karena tidak hanya keselamatan yang dipertaruhkan akantetapi kondisi lingkungan gunung Rinjani juga menjadi perhitungan, karena dengan membludaknya jumlah pendaki tentu sampah juga akan menumpuk. 

Editor: Rio Indrawan